Jumat, 26 November 2010

Aku Pulang

Langit begitu biru, bersih, tidak ada sedikitpun awan yang menutupi langit pagi itu. Aku berdiri dan menatap kaca di lemari pakaianku.”Nama depanku Gilar dan bernama belakang Nandana,tinggi badan sekitar seratus 169 centimeter dengan rambut ikal,kumis tipis dan sedikit jenggot,berkulit sawo matang dan berkacamata,hidung yang tidak begitu mancung,bulumata yang panjang dan lentik,serta suara khas yang cempreng”, ucapku dalam hati.

Hariku ini biasa saja,terbangun di kamar lantai tiga tanpa jendela,hanya sebuah pintu menuju ke belakang. Pintu itu hampir selalu terbuka agar langit biru kesukaanku bisa terlihat dengan jelas. Melihat ke langit adalah salah satu kegiatan favoritku. Semua terasa tenang dan tentram saat duduk di atas tempat tidur dan menatap langit. Kuambil asbak di atas meja dan sebungkus rokok yang hanya tersisa tiga batang. Kubakar rokok itu dan berpikir tentang apa yang akan kulakukan disaat libur ini. Kubuka laptop dan mulai menyalakan lagu yang sama setiap harinya,tidak ada lagu lagu yang baru. Kulihat di bawah banyak anak anak kecil yang sedang bermain main. Mungkin empat atau lima orang, mereka terlihat sangat bahagia dengan permainan sederhana yang menurutku tidak begitu jelas maknanya. Para orangtua hanya melihat saja dan tersenyum, beberapa ibu sedang menjemur pakaiannya dan beberapa sedang mencuci. Kubuka pintu kamar mandi dan mulai menyalakan shower. Dan begitu keluar dari kamar mandi aku merasa begitu segar.

Sangat segar,seperti sudah tidak terkena air selama dua tahun lalu terkena air hujan.



                                                                                          ***       



               “bzzz, duar duar”, suara ricuh itu terdengar dari dalam game centre bersamaan dengan suara deringan telepon genggamku, seorang temanku mengajak untuk menghadiri sebuah acara seminar 5 agama berbeda. Namanya Evan dengan nama belakang Petrus, tingginya sekitar seratus delapan puluh centimeter dengan rambut lurus berkulit sedikit lebih cerah dariku, tubuh yang cukup atletis, mata yang bulat,dagu agak persegi,dan berciri khas suara yang agak berat, ya secara garis besar bertolak belakang denganku.

“lar kamu ada acara nggak besok? Ikut yuk ke seminar 5 agama di Balai Kartini” ucap evan dengan semangat menggebu gebu.

               “males ah, kaya nggak ada kerjaan aja sih” ucapku datar.

               “ayo dong dateng kita seru seruan aja,oke oke?” katanya dengan suara yang berat.

               “ah males banget ngapain coba kita kesana?” sahutku setengah berteriak.

               “yaudah si ikut aja ada makan gratis ini oke oke? Dijemput deh.

Tanpa menanyakan persetujuanku lagi dia mematikan telepon dan aku pun tidak bisa menolak karena siang keesokan harinya  dia sudah ada di depan kamarku. Ya akhirnya dengan hati yang tidak riang gembira aku menghadiri acara yang membosankan itu. Aku duduk di tengah tengah aula  yang saat itu sudah ramai akan banyak sekali orang. Orang di atas panggung dengan bermacam macam tetek bengek itu mulai membicarakan hal hal membosankan yang sulit dimengerti oleh otak seorang pemuda yang masih senang sekali bermain main. Aku pun mulai menggerutu dan marah.

“woi acara apaan sih ini nggak ada seru serunya,ngapain juga si dateng ke sini sok pinter banget”,ucapku pada Evan yang juga terlihat menguap.

“sabar, bukan ini yang aku tunggu tunggu nanti liat akhir acaranya” ucapnya sedikit membangkitkan semangatku.

“awas aja kalo nggak seru juga!” ucapku dengan kesal.

Di akhir acara naik ke panggung seorang wanita cantik mengenakan long dress berwarna kuning,rambutnya yang panjang dikuncir kebelakang,wajahnya terlihat berseri seri,benar benar seorang gadis yang cantik. Aku tidak tau apa yang akan dilakukannya tapi sepertinya dia juga ingin mengungkapkan opininya tentang masalah yang banyak dihadapi serta konflik konflik seputar perbedaan agama belakangan ini,itu terlihat dari beberapa lembar kertas yang dia bawa. Ya menurutku dan Evan acara ini tidak mempengaruhi apa apa karena kami saja yang berbeda agama bisa berteman dengan sangat baik. Tidak sampai sepuluh menit wanita itu naik ke atas panggung, tiba tiba lampu pun mati, seluruh aula mendadak menjadi sangat gelap, aku bahkan tidak bisa melihat jari jari tanganku sendiri. Aku tetap bersantai karena aku pikir ini adalah bagian dari acara, jadi aku duduk manis dan tetap menunggu apa yang akan terjadi. Sekitar 30 detik kemudian lampu menyala, tapi ada yang aneh, wanita itu tidak ada di posisinya lagi,dia terkapar di atas panggung dengan lubang di kepalanya,darahnya menodai long dress kuning yang dia kenakan dan membentuk seolah corak corak melambangkan kesedihan. Ya, seseorang telah menembak wanita itu dalam kegelapan. Wajah semua orang berubah pucat, beberapa terlihat ingin segera meninggalkan tempat itu dan pergi jauh, hingga suara seseorang memecah suasana.

“semua tetap tenang, tidak ada yang bergerak dan diam ditempat, saya sudah menghubungi polisi dan polisi akan datang sekitar 15 menit lagi.” ucap seorang panitia acara itu dari atas panggung.

“hei disana ada sekujur mayat terbaring dan kau menyuruh kami untuk tetap diam menunggu polisi?kau gila?mungkin saja perempuan itu masih hidup.” teriak seseorang.

“tidak mungkin dia masih hidup aku sudah memastikannya dari tadi, peluru tepat menembus kepalanya, saat dia sedang berusaha melihat di kegelapan.”ucap salah seorang panitia acara yang berusia kira kira setengah baya.

Lima belas menit kemudian datang polisi dan tim forensik ke tempat kejadian. Mereka memeriksa semua tempat, semua pengunjung dan termasuk aku pun diperiksa untuk menemukan barang bukti.

               “siapa namamu dan umurmu juga alamatmu?” tanya polisi dengan nada mengintrogasi.

“Gilar pak, tujuh belas tahun sisanya bisa bapak lihat di kartu identitas saya ini.” aku memberikan sebuah kartu tanda penduduk pada polisi berkumis itu.

“emm memangnya wanita yang tertembak itu siapa pak??”tanyaku pada si polisi berkumis.

“dia salah satu aktivis muda dalam bidang sosial dan agama,dia juga pengarang lagu, umurnya mungkin baru sepantar kamu.” jawabnya dengan suara yang seperti pemain srimulat.

Setelah semua selesai diperiksa, polisi menyuruh semua tetap duduk di aula menunggu perintah berikutnya dan jangan membuat kepanikan. Aku menghampiri Evan dan mulai membicarakan tentang wanita itu.

               “itu tuh acara yang ditunggu tunggu?? apaan masa kaya gitu.” ucapku pada Evan.

“yeee, itu cantik banget ceweknya, aku cuma mau liat dia aja,ahahaha.” ucapnya tanpa rasa bersalah.

“eh tapi kayanya aku tau siapa yang nembak itu cewe, tapi cuma perkiraan aja kok.” ucapku berbisik.

“ah yang bener, ngaco lo , udah ayo pulang!” kata Evan sambil berlari menuju parkiran mobil

Para polisi tidak dapat menemukan bukti apapun pada kejadian itu. Senjata maupun barang bukti lain tidak dapat ditemukan oleh polisi. Panitia yang berjumlah sekitar 20 orang pun tidak dapat menemukan apa apa dari seluruh lokasi tempat kejadian perkara. Para polisi terus melakukan penyelidikan yang setelah diketahui hasilnya nihil. Karena menemui jalan buntu para polisi membiarkan kasus itu menguap begitu saja.



                                                                                          ***

Dua tahun sudah kulewati, kehidupanku masih belum banyak berubah. Masih dengan kegiatan favoritku, apalagi kalau bukan menatap langit. Aku berjalan keluar bermaksud mencari makanan saat kulihat seorang wanita mengenakan long dress berwarna kuning. Ingatanku seakan berputar mundur, teringat akan kasus yang terjadi dua tahun yang lalu, kasus mengerikan yang terjadi di depan mataku sendiri.

Kasus itu kini sudah banyak dilupakan orang karena tidak begitu di expose oleh media massa. Tapi ada satu hal yang sangat mengherankan, semenjak kasus itu aku terus mendapat sms dari sebuah nomor tidak dikenal. Biasanya nomor itu bertanya “apakah kau juga tahu pelakunya?” atau “ungkapkan kebenaran” . Ya mungkin apa yang dibilang orang dari nomor misterius itu ada benarnya, tapi aku tidak begitu percaya diri dengan analisisku yang setengah matang. Dua  tahun sudah berlalu, aku sudah bukan murid sma yang sedang mencari universitas untuk melanjutkan pendidikan lagi sekarang. Aku adalah mahasiswa sebuah universitas di Depok dengan jurusan Kriminologi. Aku sempat merasa aneh saat melihat beberapa dosen di kampusku. Aku merasa sangat familiar dengan para dosen tersebut, entah aku pernah melihat mereka dimana tapi wajahnya terlihat sangat sangat familiar. Lalu ada juga seorang seniorku yang terlihat familiar, badannya gendut dengan rambut sepundak, kalau tidak salah namanya Benyamin. Aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat tapi itu sudah lama sekali. Aku pun terus berpikir, dan akhirnya aku menegaskan bahwa itu hanya hayalanku saja.

Di perjalanan pulang aku bertemu Evan yang kuliah pada salah satu universitas di kota Bandung pada jurusan Management.

“eh jalan dulu yuk, ngapain langsung pulang, anak anak pada mau ngumpul tuh.” ucapnya padaku.

Lah tiba tiba ngajakin jalan? Kenapa kamu ada di sini? mau kemana? Aku agak malas juga sih.” ucapku tanpa rasa semangat.

hahaha, surprise kan? yaelah udah sih ikut aja, jarang jarang kan ngumpul lagi.” ucapnya meyakinkanku.

“yaudah deh ayo, tapi naik mobil kamu aja ya, mobilku kutinggal dirumah.” kataku dengan nada yang tidak biasa.

Akhirnya aku dan teman teman berencana untuk bertemu di sebuah tempat makan di daerah yang memang ramai oleh anak anak muda. Sepertinya sekarang tidak ada yang berubah dari dua tahun yang lalu,semua masih sama saja. Tiba tiba Privco membuka sebuah topik pembicaraan baru.

“eh eh sekarang yang lagi trend itu hantunya si Karra tau,pada tau ga?” ucap Ico dengan penuh misteri.

“haaa siapa tuh??” ucapku dengan nada heran.

“tau nih ga jelas si Ico..” ucap Evan dengan nada menyindir.

sampah kau van, itu loh..perempuan yang ditembak mati waktu acara tentang agama itu, yang pelakunya belum ketahuan sampe sekarang.” ucapnya dengan bersemangat.

“emang belum ketahuan?!” ucapku dan Evan bersamaan.

“lah kenapa kalian berdua tadi ga percaya sekarang semangat banget.” kata Ico dengan heran.

“gini loh dulu aku sama Gilar ada di tempat kejadiannya pas itu cewe ditembak mati.” ucap Evan menerangkan.

“serius?? Waduh serem juga ya, jadi sekarang tuh katanya siapa yang nyanyiin lagu bikinan dia tiga kali bakal mati dibunuh sama hantunya dengan cara yang sadis banget deh.” ucapnya.

Sepulang dari situ aku menerima lagi sms dari nomor tidak dikenal yang terus terusan mengirimi pesan selama dua tahun ini. Kali ini isinya adalah tulisan yaitu “sudah dua tahun berlalu kau masih tidak mau mengungkap kebenaran, kali ini aku sudah tau pelakunya dan aku akan menghakiminya sendiri” kata kata dalam sms itu terasa sangat mencekam di pikiran ku. Kata kata itu terus membayangi pikiran ku sendiri.

Esoknya aku pergi ke kampus seperti biasa, dan aku sedang dalam kelas dosen yang aku rasa wajahnya sangat sangat familiar. Seusai kelas aku berjalan menghampiri pintu kelas, aku baru saja hendak melangkahkan kaki sebelum sebuah suara memanggilku, ya itu suara dosen itu. Dosen dengan rambutnya yang klimis, kacamata yang melorot, hidung yang mancung dan kulit sawo matang. Tingginya kira kira sepantaranku.

               “Gilar kemari sebentar, bapak ingin bicara” ucap dosen itu kepadaku.

“emm ada masalah apa ya pak Kunto?” ucapku menyebutkan namanya yang baru kuketahui dari tulisan di map yang dia pegang.

“ saya ingin kamu mewakili angkatan kamu ke seminar lima agama” ucapnya tegas.

“emm seperti dua tahun lalu pak??” tanyaku padanya.

“iya betul sekali, kok kamu tahu?kamu datang juga?” tanyanya dengan heran.

“iya pak saya datang ke acara itu dengan teman saya” ucapku dengan ragu ragu.

“baguslah kalau begitu besok temui saya disini jam 9 pagi, jangan terlambat”

Di perjalanan pulang aku terus berpikir tentang acara itu, mungkin ini akan membuat nilai nilaiku bagus. Tapi aku terus memikirkan tentang wajahnya yang familiar hingga akhirnya aku teringat. Dia adalah panitia acara dua tahun yang lalu, acara yang merenggut nyawa satu orang wanita sebayaku itu. Yaah siapapun dia, yang penting dia bisa membuat nilaiku bertambah baik. Malam itu aku hanya merenung dengan banyak pikiran di kepalaku. Dari mulai masalah cerita tentang hantu wanita bernama Karra yang tidak lain adalah wanita yang kulihat tewas di depan mata kepalaku sendiri, masalah tentang nilai nilaiku yang mungkin akan bisa bertambah jika aku ikut acara super membosankan itu, dan masalah betapa menjijikannya acara di televisi yang sedang aku tonton sekarang. Acara reality show yang sangat dibuat buat dan setelah aku ketahui acara ini sudah di atur scriptnya. Mungkin kedua masalah diatas penting tapi masalah acara televisi ini sangatlah tidak penting. Aku memutuskan untuk duduk di teras belakang sendirian. Kuhisap sebatang rokok favoritku sambil memandangi rumahku yang sudah ada dari masa penjajahan belanda hingga akhirnya aku tertidur di kursi teras bersama kucing kucing liar yang tinggal dirumahku.



                                                                                          ***



               “bangun woi bangun!!” teriak adikku tepat di kupingku.

               “ha..jam berapa sekarang?” tanyaku padanya yang sedang bersiap sekolah.

               “udah jam tujuh , ga ke kampus lo?” tanyanya padaku.

               “mati aku mati aku” ucapku sambil berlari.

Aku berlari ke kamar mandi sambil terus memikirkan kemungkinan terburuk bahwa aku harus menempuh jarak rumah ke kampus hanya dalam waktu satu jam dengan jalanan macet. Aku keluar dari rumah, membuka pintu gerbang, mulai menghidupkan Toyota Solun biru yang seharusnya bernama Soluna tetapi huruf ‘a’ dari Soluna-nya sudah hilang kesayanganku itu dan memacu mobil ke kampus. Tapi semua yang aku pikirkan tidak terjadi, aku sampai di kampus tepat waktu dan dosen itu sampai sekitar sepuluh menit setelah aku datang. Kami pergi ke tempat yang sama dengan dua tahun yang lalu, aula yang sama dengan desain yang sama dengan acara dua tahun lalu. Disana aku melihat seniorku gendutku yang tampaknya familiar juga. Acara itu berjalan sama seperti dua tahun lalu, tetap membosankan dengan kata kata yang sulit dimengerti dan segala tetek bengeknya. Yang beda hanya kali ini dibagikan selebaran susunan panitia. Terdapat disitu nama Kunto dan beberapa orang lainnya, tapi lima orang yang bertanggung jawab adalah Kunto,seorang pendeta, seorang ulama, dan dua orang dosen lainnya dari kampus berbeda. Semua berjalan lancar, aku pun sudah mulai memikirkan tentang nilaiku yang akan menjadi bagus, bagaimana senangnya orang tuaku yang biasanya melihat nilaiku acak – acakan, dan hadiah apa yang akan kuterima. Acara pun sudah akan selesai,semua sudah keluar, hanya tersisa beberapa orang, sampai tiba tiba lampu mendadak mati lagi. Aku spontan berteriak “arghhh masa terulang lagi kejadian dua tahun yang lalu!!!”.

 Suasana menjadi hening, dan kemudian lampu pun menyala kembali. Di atas panggung, salah seorang dosen panitia acara tersebut tewas mengenaskan, rahangnya tertusuk sebuah pisau tajam menembus hingga ke atas. Di sebelahnya tergeletak sebuah mantel dan sarung tangan berlumuran darah. Semua tercekam, saat itu di aula hanya tersisa aku, seorang nenek tua dari panti asuhan dan anak anak panti asuhan,Benyamin,Pak Kunto,Arrack,Anna dan tiga orang panitia lainnya yaitu Lasto seorang dosen yang kira kira berumur empat puluh tahunan lebih,wajahnya ramah dan rambutnya yang sudah mulai beruban itu benar benar memancarkan kharismanya,tubuhnya kira kira satu setengah meter. Satu orang lainnya bernama Mike. Seorang pendeta, wajahnya kotak dan seperti di lipat lipat, rambutnya sudah mulai botak dan tingginya kira kira seratus tujuh puluh centimeter. Yang terakhir adalah Ahmed. Seorang ulama,wajahnya bulat dengan kumis agak tebal, matanya memancarkan aura positif yang kuat, tingginya sepantaran dengan Mike. Wajah pak Kunto dan panitia lainnya terlihat panik, keringat dingin mengalir di wajah keempat orang itu. Menurutku semua orang bisa saja menjadi pelaku, posisi semua orang tidak jauh dari panggung. Polisi datang sekitar setengah jam kemudian karena panggilan dariku, semua orang disitu diinterogasi secara bergantian. Beberapa polisi sibuk mencari sisa sisa barang bukti dari sekitar mayat yang sudah terbaring kaku di atas panggung tersebut.

“wah terlalu sadis, pisau itu menusuk begitu dalam, korban tewas seketika dan sama sekali tidak ada sidik jari di pisau tersebut” ucap salah seorang polisi pada rekannya.

“wah ini sih seperti cerita yang sedang trend, hantu Karra,hiii” ucap rekannya.

“apa sih, mana mungkin, ini cuma pembunuh sadis, jangan nakut nakutin ah” ucap polisi yang lainnya.

Percakapan yang kucuri dengar itu memang terdengar cukup mengerikan, tapi semua itu ada benarnya, semua hanya ulah pembunuh sadis yang masih belum diketahui motif dan tujuannya. Setelah menunggu cukup lama, melewati berbagai proses introgasi pertama ditempat oleh polisi, akhirnya polisi memanggil kami semua untuk berkumpul.

“kalian semua kecuali anak anak akan diminta untuk tinggal dan bermalam di sebuah rumah polisi di daerah yang dirahasiakan untuk penyelidikan lebih lanjut” ucap sang polisi dengan ragu ragu.

“kenapa kami di tahan?” tanya pak Kunto dengan cemas.

“kalian semua disini adalah tersangka utama, kami tidak bisa menemukan sidik jari dari sarung tangan dan mantel yang digunakan pelaku untuk melindungi dirinya dari cipratan darah,lagipula alibi kalian masih belum jelas” ucap seorang polisi yang sepertinya adalah komandan dari tim polisi itu.

“berapa lama kita akan ditahan disana pak?” tanyaku dengan cemas.

“kalian akan kami tahan dirumah itu sampai kalian diputuskan tidak bersalah” jawab sang polisi.

“tenang saja akan ada pengawasan ketat dari pihak polisi saat kalian dirumah tersebut” tambah sang polisi.

Kami di bawa dengan sebuah mobil tertutup ke daerah pengasingan entah dimana. Getaran getaran dari jalan begitu terasa sampai ke tulang ekorku. Aku dibawa bersama seorang nenek,tiga orang panitia,seorang senior gendut,seorang wanita setengah baya dan seorang lelaki negro. Rumah pengasingannya tidak seburuk yang kukira. Dari luar, rumah itu seperti villa yang sudah tidak ditempati lagi oleh pemiliknya. Seperti villa yang dijaga oleh pesuruh yang dititipi majikannya tetapi majikannya tidak kunjung datang . Rumah itu punya banyak sekali kamar kamar dan sangat besar, mungkin kita bisa bermain sepakbola di ruang tamunya. Polisi bilang mereka tidak akan mengawasi kami secara langsung melainkan melalui kamera pengawas, mereka akan kembali lagi minggu depan untuk memberi tahu keputusan polisi tentang nasib kami.







                                                                                          ***



Aku mulai merasakan kejanggalan disini, orang orang itu, senior gendut itu, wanita itu dan lelaki negro itu, sepertinya mereka semua pernah kulihat entah dimana. Aku mulai mencoba berpikir, aku berjalan berputar putar diatas karpet bunga di ruang tengah itu. Kulihat ketiga orang yang sedang aku pikirkan itu sedang duduk berjauhan. Pertama kupandangi Benyamin,senior gendut itu, tubuhnya kira kira lebih tinggi beberapa centimeter dari badanku,wajahnya yang bulat, rambutnya yang ikal dan sepundak , dia memakai kacamata frameless , matanya yang cukup besar walaupun tidak begitu terlihat karena tertutup rambut, dan lehernya yang berlipat lipat dan terlihat sangat pendek karena badannya yang gendut itu sangat familiar.

Setelah itu kupandangi wanita setengah baya yang tampak keibuan itu, rambutnya yang belah tengah dan bergelombang itu menjuntai hingga ke pinggangnya, matanya yang bulat dengan bulumata yang lentik dan badannya yang kurus itu benar benar membuatku penasaran. Kualihkan tatapanku pada Arrack, lelaki negro yang duduk tepat di depanku,mungkin dia dari nigeria. Ya, seperti orang negro yang biasa anda lihat di layar kaca, badannya yang tinggi kekar, kulitnya yang hampir sehitam rambutku ini, dan bibirnya yang sangat tebal itu, benar benar khas orang negro, tapi rambutnya yang digimbal itu berwarna pirang, mungkin dia blasteran, atau mungkin dia buceri(bule cat sendiri). Mungkin kata kata buceri cukup garing dan tidak bagus untuk lawakan humor. Kembali ke ceritaku, semua orang itu benar benar terlihat sangat familiar. Aku pergi ke luar dan duduk di kursi balkon lantai dua, kuhisap lagi sebatang rokok kesukaanku, aku terus berpikir dan berpikir. Dimana ya aku pernah melihat mereka? Ini sudah batang rokok yang ketiga dan akhirnya aku mendapatkan apa yang disebut orang dengan wangsit. Spontan aku berkata “hopla aku ingat!” ya, aku ingat dimana pernah melihat mereka. Kecuali Arrack, mereka duduk satu baris denganku dan Evan saat acara yang sama dua tahun lalu.

 Tidak menutup kemungkinan mereka mencuri dengar permbicaraanku dan Evan yang menyebutkan bahwa aku tahu pelaku pembunuhan gadis itu. Ya, bisa jadi salah satu dari ketiga orang tersebut yang mengirimiku sms misterius selama tiga tahun ini. Aku melupakan analisisku tentang orang misterius yang menerorku tiga tahun ini, sekarang itu tidak penting, yang penting adalah siapa yang bisa menusuk panitia itu dalam kegelapan hingga merobek rahangnya itu. Siapa yang cukup tega melakukannya? Tiba tiba aku teringat pesan terakhir yang dikirimkan orang misterius itu  



Sudah tiga tahun berlalu kau masih tidak mau mengungkap kebenaran, kali ini aku sudah tau pelakunya dan aku akan menghakiminya sendiri



Pesan itu terngiang ngiang lagi dikepalaku, aku terus memikirkannya, terus dan terus hingga akhirnya aku tertidur di kursi balkon itu, hingga akhirnya sebuah suara misterius datang dari kamar pak Kunto “arghhh!!!”, teriakan laki laki itu terdengar dengan sangat keras. Tidak sampai sepuluh menit semua orang berlari ke kamar pak Kunto yang ada di lantai dua, aku sampai pertama disana diikuti Arrack, Anna,Lasto , Benyamin dan Mike. Semua cemas dengan keadaan pak Kunto, Lasto mendobrak pintu kamar itu dan berteriak “Kunto kau tidak apa apa?”. Tapi semua terkejut saat masuk ke kamar itu, semua terlihat begitu normal, kasur dan bantal tertata rapih, televisi, tape, dan yang lainnya ada pada tempat yang memang seharusnya. Semua terdiam, hingga terdengar suara yang tidak asing dari belakang kami “kenapa kau dobrak pintu kamarku” , ucap pak Kunto dengan nada sedikit heran.
               “darimana kau Kunto? Bukankah kau yang berteriak tadi?” ucap Lasto dengan heran
.

               “ya aku juga mendengarnya, kami semua mendengarnya” tambah Mike.

“aku dari bawah melihat lihat sekitar, aku sepertinya tidak mendengar apa apa tapi aku hanya mendengar suara pintu di dobrak”

Semua hanya bisa terdiam, tidak ada yang bisa berkata kata. Bagaimana mungkin jika itu hanya halusinasi, hampir seisi rumah mendengar jeritan histeris itu. Hampir tidak mungkin kalau itu hanyalah hayalan belaka. Pasti ada yang tidak beres disini, insting ku mengatakan. Aku berusaha untung tenang, tapi perasaan apa ini, seperti ada yang tidak beres disini. Aku merasa hal yang sangat buruk telah terjadi, sesuatu yang sangat buruk telah terjadi di rumah ini. Aku mulai merasa kalau ini hanya sebuah feeling yang salah. Semua berjalan normal, semua masuk ke kamar saat sudah mulai larut malam, aku tidur dengan nyenyak tanpa mengalami mimpi apapun hingga suara lembut membangunkanku, suara yang penuh kasih sayang. Suara itu datang dari seorang nenek yang kira kira berumur enam puluh tahunan lebih, rambutnya sudah memutih, tubuhnya sudah berkeriput,tapi masih terlihat sangat segar. Wajahnya yang ramah dan sepertinya blasteran dihiasi kacamata bulat yang besar membuatnya makin tampak sebagai sosok seorang nenek yang baik.

               “bangun nak aku sudah membuatkan sarapan untuk semua” ellie membangunkanku.

               “oke madame aku akan turun ke ruang makan”

               “cepatlah nak, aku akan membangunkan yang lain”

Aku sudah duduk dengan manis, siap menyantap pasta asli buatan koki blasteran belanda itu hingga akhirnya suara keibuan itu memanggil semuanya, “semua coba kesini, kemana perginya Ahmed?” ucap Ellie dengan penuh rasa takut. Aku mencoba melihat ke dalam kamarnya, semua sama seperti kamar kamar lain di rumah ini, tertata dengan sangat rapi. Hanya ada satu kejanggalan, darimana datangnya lalat lalat itu. Lalat lalat itu terbang di sekitar guling di tempat tidur, aku berlari mengeceknya lalu, kutemukan disana hal yang paling mengerikan yang pernah aku lihat.

               “wanita mundur, yang laki laki kemari dan bantu aku mencari sisanya!” ucapku dengan keras.

               “mencari apa maksudmu?” tanya Benyamin dengan heran.

               “sudahlah kemari saja dan lihat apa yang kutemukan”

Ya, di dalam bantal itu ada kepala pak Ahmed yang sudah kaku dan membiru,darahnya yang mulai mengental mambuat bantal itu seperti sebuah karya seni abstrak, rambutnya yang klimis itu masih ada di tempatnya, hanya saja kedua matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar seakan saat saat kematiannya adalah hal yang paling mengerikan yang pernah dialaminya. Entah apa yang dipikirkan pelakunya, tapi hal ini sangat mengerikan. Aku dan para lelaki lainnya mulai mengobrak abrik kamar untuk mencari dimana sisa potongan tubuhnya.

Sudah hampir sejam kami mencarinya, tapi kami tidak menemukan secuilpun darah. Aku mulai putus asa dan mencoba menghubungi polisi.

               “Benyamin tolong kau hubungi polisi dengan telepon di ruang tengah” ucapku padanya.

               “kau harus lihat ini”

               “ada apa?”

               “seseorang telah memutus kabelnya, kita tidak bisa menghubungi siapapun”

               “gunakan yang lain, cepatlah” ucapku dengan kesal.

“ tidak ada, ini satu satunya di rumah ini dan handphone kita juga ditahan oleh polisi untuk pemeriksaan”

“bagaimana dengan kamera pengawas polisi? Mereka pasti akan melihat kejadian ini bukan?”

“percuma” ucap pak Kunto sembari memberi isyarat untuk mengikutinya.

Kami berjalan mengikuti pak Kunto ke salah satu ruangan di bawah, letaknya di ujung dan hanya bisa dimasuki dari luar rumah. Ruangan itu adalah ruangan kamera pengawas. Aku mendekati mesin pusat kamera pengawas itu, “sial!! Kalau begitu kita hanya bisa menunggu polisi datang sekitar lima hari lagi” ucapku kesal. Benyamin pun heran, “kenapa kita harus menunggu bukankah ada kamera dan polisi akan datang?” ucapnya. “Apakah kau bodoh?” ucapku kesal, “kalau pusat dari kamera itu saja ada disini berarti polisi tidak akan datang, mereka hanya merekam dan melihat hasil rekamannya pada hari saat mereka menjemput kita, lagipula kita tidak bisa melihat rekamannya karena untuk membukanya dibutuhkan password” tambahku. Terlihat air muka pak Kunto , Lasto dan Mike mulai berubah. Kecemasan mulai tersirat di wajah mereka bertiga, sepertinya ada sesuatu yang sangat aneh yang mereka sembunyikan dari kami semua, entah apa itu tapi mungkin itu adalah hal yang sangat sangat buruk dalam hidup mereka.

Semua merasa terancam, kami berusaha melewati malam yang diliputi udara dingin yang terasa seakan menusuk nusuk sampai ke kulit setiap orang di rumah ini. Semua tetap berusaha tenang dengan kejadian aneh yang terus menimpa rumah ini, dari mulai terdengar jeritan misterius hingga misteri dibalik tewasnya pak Ahmed dengan potongan tubuh yang hilang.

Kami hanya berusaha tetap tenang, berusaha untuk menjalaninya seperti tidak ada apa apa dan menunggu hingga polisi datang menjemput kami selama 5 hari kedepan. Semua berusaha untuk tetap tidur nyenyak di balik selimut mereka tanpa memikirkan kemungkinan si pembunuh mencari mangsanya dengan membabi buta. Aku sudah berusaha memejamkan mataku selama 2 jam ini tapi tetap saja pikiranku ini terus menggangguku. Aku berusaha menenangkan diriku dengan sebatang rokok tapi ini sudah batang ketujuh yang kuhisap dan detak jantungku tidak bisa melambat sedikitpun. Akhirnya dapat kulewati malam ini dengan tidur yang tidak begitu nyenyak, malam yang membuat jantung semua orang terus berdegup kencang, malam yang tidak pernah kurasakan di hari hariku yang biasa, hari dimana aku hanya mahasiswa biasa dengan kehidupan yang biasa dan kejadian kejadian yang biasa saja. Kalian pasti tidak bisa membayangkan betapa jantung ini berdetak kencang, saking kencangnya seakan aku bisa mendengar detakannya tanpa alat bantu apapun. Aku terus berdoa, berharap semoga ini semua hanya mimpi dan aku bisa bangun dipagi hari lalu sarapan dengan roti yang biasa ditambah secangkir teh hangat. Akupun mulai memejamkan mataku dan terbang ke pulau kapuk.



                                                                           ***



Akhirnya aku terbangun, aku melihat sekitarku dan ternyata ini semua kenyataan. Aku masih berada di rumah pengasingan yang aku sendiripun tidak tahu dimana ini, aku berusaha untuk bangun dengan mencubit tanganku, berharap ini semua hanya mimpi dan adik kecilku akan membangunkanku, mengingatkanku untuk pergi kuliah tapi semua ini kenyataan. Kulitku terasa sakit saat kucubit, kali ini tidak ada suara lembut nenek Ellie yang membangunkanku. Aku berjalan ke luar rumah ini untuk mencari tau dimana aku berada sekarang. Kulewati jalan setapak kecil yang dibatasi batu batu kecil. Yang kulihat hanyalah sebuah jurang. Ya, rumah ini berada di tepian jurang dan di sisi lainnya terdapat padang rumput yang dibatasi oleh hutan yang gelap. Aku baru menyadarinya sekarang, aku terlalu sibuk untuk memperhatikan sekitar. “Pantas saja polisi membawa kami dengan mobil jeep” pikirku dalam hati. Aku berjalan menuju ruang tengah untuk melihat apakah orang orang dirumah ini masih lengkap. Semua masih ada, masing masing sibuk dengan kegiatannya, nenek Ellie yang sedang memasak di dapur rumah yang hanya diisi dengan satu buah kompor dan kulkas penuh bahan makanan, pak Kunto yang sedang duduk di teras sambil melihat keatas seakan akan dia bisa melihat sesuatu yang tak bisa kulihat, Benyamin yang baru saja keluar dari kamarnya sambil menggaruk garuk rambutnya yang menutupi wajah, Anna yang sedang duduk dengan wajah tanpa ekspresi yang seakan akan menunjukan betapa pasrahnya dia dengan keadaan ini, lalu Mike yang sedang sibuk dengan alkitab yang dibacanya, mungkin dia tetap berusaha tenang dan berserah pada tuhannya, Arrack yang sedang menatapi tepian jurang sambil menghisap cerutunya yang dari kemarin tidak habis juga,semoga saja dia tidak nekat dan melompat dari jurang itu dan juga Lasto yang sedang mencari tempat untuk tidur lagi dengan tenang.

Ya, Lasto adalah teman sekamar Ahmed dan dia tidak bisa tidur semalaman karena kami masih meletakkan apa yang tersisa dari Ahmed atau lebih tepat disebut kepalanya tetap pada tempatnya. Semua orang dalam rumah ini masih merasakan kengerian dari peristiwa kemarin, semua masih mengira ngira siapa yang melakukannya, timbul ketidak saling percayaan pada semua orang dirumah ini. Beberapa menyangka kalau ada orang lain sadis dirumah ini yang melakukan ini semua, salah satu yang meyakini teori itu adalah Benyamin. Dia tetap mempercayai orang yang lainnya dan meyakinkan bahwa semua akan baik baik saja. Sifatnya yang optimistis mungkin diperlukan dalam situasi sekarang ini, sekarang ini orang yang bisa benar benar aku percaya mungkin hanya dia dan nenek Ellie.

“semua!!sarapan sudah matang, kemarilah dan makan bersama” kata nenek Ellie dengan lembut.

“aku tidak mau makan semeja dengan pembunuh” bentak Anna.

“hei kita tidak tahu siapa yang pembunuh, atau ada tidaknya pembunuh itu diantara kita” Benyamin berusaha menenangkan suasana.

“kau terlalu optimis anak muda, serahkan semuanya pada tuhan, tapi kata katamu ada benarnya , lebih baik kita makan sekarang atau pembunuh terkejam bernama kelaparan akan membunuhmu” kata Mike dengan logatnya yang terkesan sangat bijak.

Semua makan bersama, aku menyantap lasagna bikinan nenek Ellie dengan sangat lahap. Dia benar benar jago memasak “pengalaman memang guru terhebat dan kau sudah sangat berpengalaman nek”, ucapku dengan spontan.

Kata kataku barusan setidaknya bisa menimbulkan sedikit senyum di wajah Anna dan Arrack yang daritadi memasang wajah yang lebih buruk dari orang yang kelaparan. Lalu di meja makan itu pun satu persatu dari kami mulai melontarkan kata kata yang sebenarnya tidak begitu lucu, tapi cukup untuk menghibur orang orang yang sedang dilanda ketakutan akut ini. Sedikit demi sedikit kami mulai bisa tertawa lagi, semua orang sudah sedikit memancarkan senyumnya walaupun kita semua sadar bahwa ada orang haus darah yang kita tidak tau apa lagi yang akan dilakukannya. Semua berjalan baik, hingga tiba tiba, siang itu listrik padam secara tiba tiba. Awalnya tidak ada yang sadar bahwa listrik sudah padam, tidak ada yang menggunakan alat alat elektronik hingga pak Lasto ingin menyalakan sebuah fan yang bisa sedikit menghilangkan rasa panas di rumah ini.

               “aneh kenapa listriknya tidak menyala ya”

               “kau sudah coba di stop kontak lain?” tanya Benyamin dari kejauhan.

               “aku sudah mencoba di semua stop kontak,mungkin ada yang tidak beres”

Pak Lasto memang ahli dalam bidang elektronik dan untuk hal hal seperti ini tidaklah sulit untuknya. Pak Lasto berjalan menuju pusat listrik untuk memeriksa apakah ada yang tidak beres. Panel listriknya tidak turun, jadi pak Lasto membuka pusat listrik tersebut dan mencoba untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya hingga seseorang memukul kepalanya dari belakang disaat dia baru saja selesai memperbaiki listrik tersebut. Saat terbangun pak Lasto sudah masih ada di gudang tempat pusat listrik tetapi dalam keadaan terikat, muncul sesosok orang dari sisi gelap gudang itu dan membawa sebilah kapak yang biasa digunakan untuk memotong kayu bakar.

               “kkkaau? Te..ternyata kau pelakunya” ucap pak Lasto dengan gagap

               “memang ini aku kau sudah terlambat untuk mengetahuinya”

               “kenapa kau lakukan ini? Apa karena gadis itu?? Aaaaaaaaaaarrrrrggggghhhhhhhhhh”



                                                                                          ***



Di dalam rumah, semua terasa biasa saja, suasana masih tenang, aku masih membaca sebuah novel misteri karangan Agatha Christie sambil meminum secangkir kopi susu kesukaanku. Malam pun tiba, kami semua berencana untuk duduk bersama di depan perapian dan bercerita tentang pengalaman hidup masing masing.

               “hei dimana tempat penyimpanan kayu bakar?” tanya pak Kunto padaku

               “mungkin ada di gudang belakang”

               “oke aku akan mengambilnya”

“oh ya tolong lihat juga apakah pak Lasto ada di gudang, aku tidak melihatnya dari tadi” ucapku pada pak Kunto yang sedang membuka pintu belakang rumah ini.

Pak Kunto kembali dengan sekarung kayu bakar di pundaknya. Dia duduk di samping ku, “tidak ada yang aneh dan aku juga tidak menemukan Lasto, mungkin dia sedang diatas” ucapnya padaku dengan sedikit rasa kekhawatiran. Kami mulai menyalakan perapian dengan kayu bakar yang ada, kayu demi kayu kami masukan ke perapian. Hingga sesuatu yang sedikit lembab dan basah mengenai telapak  tanganku, aku mengangkatnya dan secara spontan aku melempar benda itu yang tak lain adalah setengah potongan kepala pak Lasto, otaknya masih ada di tempatnya walau hanya setengahnya. Kepala itu benar benar seperti sebuah semangka yang dibelah dua. “hoeek” terdengar suara muntah Anna yang saat itu duduk tepat di belakangku. “ayo kita cari sisanya” ucapku sedikit berteriak. Aku dan pak Kunto masuk ke dalam gudang itu, memeriksa semua sudutnya dan mencari sisa potongan tubuhnya tapi kami tidak bisa menemukan apa apa. Kami kembali ke ruang tengah dan aku berusaha menenangkan orang orang lainnya yang masih merasa sangat panik.

               Terlihat wajah panik dari Arrack,Ellie,Mike,dan Anna. Wajah mereka benar benar terlihat sangat terancam, seperti orang yang akan dieksekusi mati hari ini juga. Tiba tiba saja Mike berteriak “aaaaarrrgghh, ini pasti si pembalas dendam dari gadis itu, kita akan mati Kunto, kita pasti yang berikutnya”. Mike terlihat sangat gugup dan takut, begitu juga dengan wajah pak Kunto, dia berusaha menyembunyikannya tapi raut wajahnya terlihat sangat jelas, dia merasa sangat terancam, dia ketakutan. Aku mencoba menghampiri Mike dan menenangkannya.

               “sudahlah pak Mike, tenang dulu” ucapku sambil berjalan menghampirinya

“mundur kubilang mundur,cepat mundur” teriaknya sambil mengeluarkan sebuah handgun kecil dari sepatunya

“tenang Mike , tenang” ucapku lagi berusaha meyakinkannya

“mana bisa aku tenang, pembunuh itu ada diantara kita, bisa saja kau pembunuhnya, aku tidak akan percaya siapapun” teriaknya dengan keras

Aku mundur menjauhi Mike dan aku mulai berpikir lagi tentang siapa yang melakukan semua ini dengan mudahnya. Mike berjalan sambil terus menodongkan handgunnya ke arah semua orang di depan perapian,dia masuk ke kamarya, “crek!!” terdengar suara dia mengunci pintunya. Semua terdiam, menundukan kepala, dan satu persatu mulai masuk ke kamar masing masing, begitupula denganku. Pintu kamarku kututup rapat dan kukunci lalu kurebahkan tubuhku keatas kasur, kutatap langit langit, otakku mulai berpikir tentang kasus ini tapi tetap saja nihil hingga lamunanku membawaku ke dunia mimpi.





                                                                                          ***

Kubuka lagi mataku di pagi hari. Lagi lagi tidurku tidak bisa nyenyak,bagaimana mungkin kau bisa tidur nyenyak bila sudah ada beberapa orang yang tewas dibunuh tepat di depan matamu sendiri. Setelah mandi aku membuka lemari dan memilih pakaian yang ingin kukenakan. Sepertinya isi semua lemari hampir sama, banyak pakaian laki laki dan wanita, kau hanya tinggal memilihnya saja. Aku keluar dari kamar dan menyapa semuanya, “pagi semua,” ucapku dengan nada yang dibuat buat seakan akan tidak terjadi apa apa. Semua sudah terbangun, seperti biasa terdengar suara nenek Ellie yang sedang memasak untuk sarapan.

               “semuanyaa!!ayo makan,” teriak nenek Ellie dengan suaranya yang khas itu. Daster yang ia gunakan sangat pas di tubuhnya yang masih terlihat sangat enerjik. Semua berkumpul di meja makan, mulai makan dengan tidak lahap. Tidak satupun kata kata yang terucap dari semua orang yang duduk di meja makan itu. Yang tidak ada hanyalah Mike.

               “Dimana Mike?” tanyaku pelan.

               “Dia tidak mau turun,” jawab nenek Ellie

Seusai makan semua kembali ke kamarnya, aku duduk di atas kursi di balkon memandangi langit sambil berharap kapan bisa kembali ke rumah, aku sudah mulai rindu akan rumah. Semua terasa sunyi,langit sangat cerah tetapi sedikit berawan, terlihat burung burung beterbangan,semua begitu tenang hingga terdengar suara letupan handgun. Semua berlari ke arah kamar Mike, satu satunya yang memiliki handgun di rumah ini.

               Aku berlari ke arah kamar Mike, disana sudah ada nenek Ellie dengan wajah pucat.”pintunya terkunci,”ucapnya ketakutan. Benyamin berlari menghampiriku.

               “bagaimana ini?” tanyanya kepadaku

               “sudahlah kita dobrak saja” ucapku

               “pada hitungan tiga, satu dua tiga” ucapnya

“Brakk!!”suara pintu itu terdengar begitu keras, aku berlari ke dalam, melihat keadaan sekitar. Semua rapih, jendela tertutup rapat, hanya ada seonggok tubuh lelaki. Mike sudah tergeletak, disampingnya ada sebuah handgun, mata kirinya berlubang tertembus peluru, sepertinya dari jarak yang cukup dekat. Seakan sudah terbiasa akan kematian, semua terlihat tidak begitu takut.

               Hanya pak Kunto yang raut wajahnya sangat pucat. Seakan kematian sudah sangat mendekatinya. Aku menghampiri pak Kunto yang hanya mengenakan celana pendek dan t-shirt berwarna hijau. Tidak terlihat sedikitpun bahwa dia adalah seorang dosen dari universitas ternama.

               “Pak Kunto lebih baik kau ceritakan padaku apa yang telah terjadi sebenarnya?”

               “arghh..aku tidak tahu apa apa. Aku tidak tahu apa apa tentang gadis bernama Karra itu,”  dia berlari dan masuk ke dalam kamarnya. Semua hanya terdiam. Kemelut dalam rumah ini seakan membuat semua orang tidak bisa tenang. Mungkin untuk sekedar rileks dan selonjor kaki saja mereka tidak tenang. Semua terus memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya. Aku berjalan melihat lihat keadaan rumah, melihat tiap kamar. Pak Kunto yang sedang duduk di atas tempat tidur menatapi jendela seakan sangat ingin kembali ke kehidupan yang normal. Arrack yang masih menghisap cerutunya, cerutu yang sudah dihisap dari hari pertama kami tiba di rumah ini. Nenek Ellie yang sedang menulis sesuatu di atas kertas dengan wajah yang tersenyum senyum. Anna yang sedang menghisap batang rokoknya,ini pertama kalinya aku melihat dia merokok, dia tampak sangat tertekan. Terakhir aku menghampiri Benyamin yang sedang duduk di balkon.

               “apakah kau ada ide tentang kasus ini?” tanyaku

               “pikiranku buntu, aku tidak mengerti, sungguh tidak mengerti,” jawabnya pelan

               “aku juga masih belum mengerti, sepertinya ini sungguh rumit,”

exactly, kita saja masih belum tahu dimana potongan potongan tubuh dari orang yang                                                                                                                                           tewas”

Pembicaraan kami mulai melantur kemana mana, mulai dari keluarga, sekolah, dan lainnya. Benyamin orang yang cukup ramah, kami seperti bisa sedikit melepas ketegangan dengan berbicara dengannya. Kami terus bercakap cakap hingga mataharipun sudah mulai bersembunyi. Aku berjalan menuju kamar dan mencoba untuk tertidur.

Ada yang mengganjal di pikiranku. Aku sudah memejamkan mata selama kurang lebih dua jam tapi tetap tidak bisa tertidur. Ku backward lagi semua ingatanku, kucuba mengingat ingat seperti ada yang janggal.

               Terlintas di pikiranku akan kamar Mike, semua terasa wajar tapi ada yang aneh. Sepertinya aku sudah menemukan petunjuk ruang tertutup itu,tapi aku masih bingung apa yang salah. Kuputar putar terus ingatanku ini, rasanya kepala ini sudah mau pecah saja. Rasa penasaran semakin mengganggu otakku. Ingin rasanya kuputar ulang semuanya. Rasanya ada kata kata yang aneh, juga sesuatu yang aneh di pintu Mike. Tapi aku tidak bisa ingat apapun tentang itu. Mungkin ini bukan tugasku untuk memikirkan ini, aku sudah bertingkah seperti seorang detektif muda yang sok tahu. Posisi ku pun dalam rumah ini sama seperti yang lain, tidak beda, tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah.

               Tapi aku percaya, mungkin ini yang disebut naluri bahwa aku bisa mengungkap semua ini, dan aku merasa ini sudah akan sampai pada akhirnya, aku tidak tau dari sudut pandang apa aku bisa berkata demikian tapi perasaan ini kuat sekali.

               Dalam lamunanku itu, lamunan yang sebenarnya tidak begitu penting, aku tertidur,tertidur dengan sangat pulas. Aku berharap agar tidak usah terbangun lagi sampai saatnya para polisi datang menjemput kami. Aku sudah lelah dengan semua ini, dengan semua yang tewas hingga saat ini, rasa muak sudah mulai menyerangku. Aku sudah tidak bersemangat lagi, sekarang perasaanku sama seperti yang lain, hilang sudah rasa semangat, aku sudah muak. Tetapi perasaan yang kuat ini menunjukan sesuatu kepadaku, aku tidak boleh berhenti disini,bagaimana kalau si pelaku ingin melenyapkan semua saksi, itu berarti hidupku juga dalam taruhan ini. Taruhan besar yang penjudi manapun tidak akan mau melakukannya. Taruhan yang lebih berbahaya daripada Russian roulette.

               Taruhan yang persentase keberhasilannya tidak jelas, yang pasti, dari sembilan orang disini, tiga diantaranya sudah kehilangan taruhan mereka, mereka adalah orang yang melakukan all-in dan kehilangan semuanya. Aku terus berdoa agar hari ini tidak terjadi apa apa, ini adalah hari keempat kami disini, hanya tinggal dua hari lagi kami akan dijemput oleh orang orang yang menyebut  mereka penjaga masyarakat. Dalam semua pemikiran beratku itu aku akhirnya tertidur.



                                                                                          ***



Sama seperti hari hari sebelumnya aku terbangun di pagi hari, menuju kamar mandi, berpakaian, turun ke bawah untuk sarapan, dan hal hal biasa lainnya. Sepertinya hari ini memang tidak akan terjadi apa apa. Pak Kunto sudah terlihat sedikit tenang, Anna yang sudah terlihat lebih segar, Arrack yang terlihat sedang berolahraga di balkon, dan Benyamin yang sedang bermain catur denganku.

               “skak mat,” ucapku dengan bangga. Kami sangat menikmati permainan kami hingga akhirnya nenek Ellie memanggil kami untuk makan malam. Sudah terlihat sedikit senyum di wajah setiap orang. Hari ini bisa kami lewati tanpa ada korban sama sekali. Akupun sudah mulai tenang, “sepertinya kita bisa menunggu bantuan dengan tenang,” ucapku.

               Tersirat sedikit kepercayaan akan bantuan di mata mereka semua, pancaran mata mereka sudah mulai berubah, sudah timbul sedikit kepercayaan diantara kami, walaupun masih tersimpan api rasa curiga dan khawatir apabila si pembunuh ada diantara kami semua.

               Ada satu orang yang terlihat menyimpan kecurigaan terbesar diantara kami smua. Sorot mata yang seakan tidak percaya siapapun,sorot mata binatang liar yang hanya hidup sendiri,tidak butuh siapapun membantunya,sorot mata yang dimiliki seorang wanita paruh baya bernama Anna.

Kuhampiri dia seusai makan dan kuajak dia berjalan keluar. Kami berjalan berputar dengan orbit yang cukup jauh, kami hamper memasuki padang rumput di hadapan kami. Dia mulai berkata lebih dahulu

“Kenapa nak? Apakah kau menganggapku ini pembunuhnya? Walau tiada alasan jelas kenapa aku harus membunuh. Atau kau mulai ketakutan akan kesendirian ini, mulai merindukan sosok ibumu?” ucapnya sambil sedikit tertawa. Aku tidak bisa berkata apa apa, sorot matanya yang tajam dan gaya bicaranya yang angkuh itu membuatku tidak ingin berkata apa  apa. “Kenapa terdiam? Aku tidak menggigit. Apa yang ingin kau bicarakan?”.

“Emm, tidak ada yang begitu penting,hanya ingin tau pendapatmu tentang kasus ini,” ucapku pelan

“Bagaimana ya, aku tidak mengerti dalam kasus ini. Semua jadi seperti biasa. Apakah kau mengerti rasanya? Aku hanya wanita biasa, membunuh binatang pun aku segan. Sekarang apa yang aku hadapi, setiap hari aku melihat orang orang terbujur kaku,wajah yang sudah membiru, tubuh yang sudah dingin.aku---,” dia menghentikan kata katanya, terlihat air mukanya berubah. “aku benar benar takut, tidakkah kau mengerti?” setelah itu dia membalikan badannya, menyalakan sebatang rokok dan berjalan kembali ke rumah besar yang kami tempati itu.

               Aku kembali ke kamarku, akhirnya aku tidak mendapatkan secuil informasipun dari Anna, aku hanya punya perasaan kuat bahwa dia bukan pelakunya. Dibalik perawakannya yang angkuh dan kurang menyenangkan, aku merasakan kehangatan. Kehangatan yang tidak mungkin dimiliki oleh pembunuh sadis itu. Yang jadi satu masalah lagi, dimanakah disembunyikan potongan potongan tubuh itu, aku tetap tidak bisa membayangkan bagaimana manusia bisa melakukan hal seperti itu. Kuletakkan kedua tanganku di bawah kepala lalu mulai berangan - angan, angan - angan akan hari kepulanganku, rumahku, keluargaku dan segala tentang kehidupan normal yang sehrusnya membuatku menjadi bosan, sangat bosan. Dalam lamunanku aku terlelap.





                                                                                          ***



Aku terbangun di kasurku, di dalam kamarku, dirumahku. “Ternyata semuanya hanya mimpi”, ucapku dalam hati. Aku berlari keluar kamar tapi tidak ada satu orangpun di rumahku. Kuputuskan untuk pergi mencari sarapan, kukenakan kaos hitam favoritku, dan berlari menuju mobil kesayanganku. Kunyalakan mobilku itu dan mengendarainya keluar dari perumahan, kupacu mobilku dengan cepat dan tanpa sadar aku lalai dan menabrak sebuah mobil lain, “Brakk!!”, suaranya begitu keras. Semua menjadi begitu gelap, aku merasa mungkin aku sudah ada di alam sana, mungkinkah aku akan bertemu dengan nenekku, mungkinkah? Dan tiba tiba semua menjadi terang, aku terbaring di atas kasurku, di rumah pengasingan, kucubit pipiku, dan ternyata hal tadi hanya mimpi. Kuhembuskan napas lega bercampur kecewa, sekitar jam delapan pagi, aku menghampiri Nenek Ellie ,ingin sedikit berbicara padanya. Sesaat aku berpikir saat menghampirinya, mengapa aku ini seperti bagian interogasi kepolisian. Aku hanya bertanya tanya seakan akan akulah yang bertanggung jawab di tempat ini.

“hai nek, sudah bangun?” ucapku sedikit berbasa basi.

“oh, Gilar, tentu saja sudah, kalau tidak siapa yang tadi menyiapkan sarapan untuk kalian?” ucapnya ramah. Senyuman kecil menghiasi wajahnya yang sudah berkeriput. Dia termasuk kuat dan bertenaga untuk orang seumurannya.

“aku ingin bertanya pada nenek yang sudah lebih banyak pengalaman, seperti apakah pelaku pembunuhan itu biasanya?” Tanyaku dengan penasaran.

“bagaimana ya—aku tidak pernah mengalami hal seperti ini, aku belum pernah melihat orang tewas di depan mataku sendiri, kecuali ..,” kata katanya terhenti.”ya—menurutku mungkin si pembunuh punya dendam pribadi, punya suatu masalah dengan orang orang yang sudah tewas itu, dia akan menyembunyikan kepribadiannya dengan sangat tertutup. Kepribadian pembunuhnya yang keji itu. Mungkin juga dia sebenarnya orang yang baik, siapapun bisa menjadi pembunuh. Bahkan anak berumur belasan tahun yang belum mengerti apa apapun bisa membunuh. Dalam buku yang kubaca, pembunuh akan banyak berbicara dan bercerita, setega apapun orangnya, dia pasti merasa bersalah. Dia ingin menceritakan yang sebenarnya tapi tidak bisa, jadi mungkin dia akan banyak bicara, atau bisa saja kebalikannya, dia akan diam tapi akan berlaku sangat baik. Lain halnya bila ,pelakunya punya kelainan jiwa, dia tidak akan merasa bersalah sedikitpun,” ucapnya dengan lugas. “tapi tampaknya tidak ada yang berkelainan jiwa di rumah ini,” ucapnya dengan sedikit tawa.

Aku mengucapkan rasa terimakasihku lalu kembali ke dalam kamarku, memikirkan kata katanya yang memiliki banyak kebenaran. Tampaknya satu satunya petunjuk adalah pada pak Kunto, aku ingin bertanya padanya tapi dia selalu murung dan kelihatan tidak bersemangat, aku tidak mengerti apa yang ada dipikirannya. Hari sudah mulai malam. Aku memutuskan untuk berjalan jalan ke luar. Memandangi kerikil kerikil, rumput rumput, jalan setapak yang hanya berputar  putar saja, daun yang berjatuhan tertiup angin yang menusuk dan suara jangkrik jangkrik yang memecah keheningan malam ini. Aku berjalan kembali ke rumah besar yang sunyi itu, rumah yang seakan memenjarakan kami semua. Aku menaiki tangga bermaksud menuju kamar pak Kunto yang ada di lantai dua. Dengan harapan mendapatkan pendapatnya tentang kasus ini beserta informasi yang dia tau. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Aku menghampiri kamarnya yang tertutup. Ku ketuk pintunya beberapa kali, kutunggu dia membuka pintu. Sudah dua menit aku berdiri tapi tidak ada yang membuka pintu, kucoba memutar kenop pintu yang sudah terlihat usang itu. Pintunya terkunci. Aku memutuskan kembali ke kamarku, merebahkan diri ke atas kasur yang cukup empuk dan menutup wajahku dengan bantal. Aku mulai membayangkan tentang pelakunya. Apakah Anna yang angkuh? Tidak, aku rasa bukan dia, dia memiliki kehangatan. Tapi aku teringat akan kata kata nenek Ellie tentang pembunuh yang mungkin saja orang baik. Ataukah mungkin Arrack, orang negro yang untuk berbicara bahasaku pun terbata bata, mungkin saja dia, tapi aku tidak bisa menilai dari luar. Mungkin Benyamin, senior gendutku itu yang ramah, bisa saja dia pelakunya.

Ataukah mungkin nenek Ellie yang tua tapi masih sangat bertenaga dan bersemangat hidup itu. Atau jangan jangan pak Kunto yang paling ketakutan itu sebenarnya adalah si pembunuh yang berpura pura. Semua menjadi terasa mungkin, rasa bingung ini sangat mengganggu. Yang kubutuhkan adalah motif, ataupun barang bukti yang bisa menunjukan pelakunya. Aku mencoba memejamkan mataku, mencoba untuk tertidur tapi tidak bisa. Aku mulai menggerutu sendirian. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan jalan lagi diluar. Kuambil pematik api dan sebungkus rokok,kumasukkan ke dalam kantong celanaku yang kuambil dari lemari. Kulangkahkan kaki mengitari sekitar rumah, kunyalakan sebatang rokok dan kupandangi sekitar. Baru kusadari hari ini, ada sebuah gudang kecil di belakang gudang tempat meletakan kayu bakar. Memang tidak mudah untuk melihatnya, gudang itu sudah ditumbuhi tanaman tanaman liar dan semak belukar. Kulihat banyak lalat dan tikus keluar dari gudang kecil itu. Akupun membayangkan betapa kotornya di dalam situ. “hoaaamh,” aku mulai menguap, kuputuskan untuk kembali ke dalam kamar. Kembali kurebahkan tubuhku, menarik selimut dan memejamkan mata, hingga aku mulai memasuki kondisi dimana orang lazim mengatakannya “tertidur”.



                                                                           ***





Aku terbangun. Matahari sudah naik cukup tinggi. Jam tanganku menunjukan pukul sepuluh siang. Esok adalah hari dimana kami akan dijemput oleh para polisi. Aku berjalan keluar menyusuri lorong menuju kamar pak Kunto. Niatku semalam untuk berbicara dengannya masih belum hilang. Kuketuk lagi pintu kamarnya, tetap tidak ada jawaban. Kuturuni tangga dengan perlahan, rasa kantuk ini masih belum hilang. Kulihat Arrack sedang berjalan ke arah kamarnya. Aku berpapasan dengannya. “apakah kau melihat pak Kunto?” tanyaku padanya.

Dia hanya menggelengkan kepalanya dan terus berjalan. Aku berjalan ke kamar nenek Ellie, melewati kamar Benyamin dan Anna. Kulihat seniorku itu sedang merapikan rambutnya di depan kaca dan Anna sedang duduk, entah memikirkan apa. Aku berdiri di depan kamar nenek Ellie, kuketuk pintunya empat kali, tidak ada jawaban. “mungkin nenek tua itu tertidur,”pikirku tenang. Aku menghampiri Benyamin. “apakah kau melihat pak Kunto? Aku tidak bisa menemuinya dari kemarin,” tanyaku padanya

“aku juga tidak melihatnya dari kemarin, entah dia ada dimana, mungkin lebih baik kita mencarinya”.

Aku dan Benyamin berjalan turun melewati tangga, menuju pintu depan, dan memutar ke belakang, kucari pak kunto ke sekitar, lalu kucari lagi di dalam rumah tapi tetap tidak ada. Kami memutar ke belakang lagi dan menuju jendela. Kulihat jendela pertama, kulihat sesosok orang sedang duduk. Kudekati jendela tersebut, ternyata Anna. Akupun berpikir dan baru saja sadar bahwa kamar pak Kunto ada di lantai dua. Kuambil tangga dari gudang yang hampir tidak ada apa apa itu. Kusenderkan tangga tua itu ke dekat jendela pak Kunto. Kunaiki tangga rapuh itu satu demi satu anak tangga. Dan begitu kulihat ke dalam kamar pak Kunto, aku spontan berteriak kepada Benyamin. “kau harus lihat ini”. Kupecahkan kaca jendela kamar pak Kunto dan tergantung di depanku tubuh lelaki setengah baya itu. Tubuh dosen yang membawaku ke masalah ini. Tubuhnya tergantung dengan tali tambang, mungkin diambilnya dari gudang. Mukanya dan beberapa bagian tubuhnya sudah membiru, sepertinya tidak kaku, dilihat dari kondisinya mungkin fase kekakuannya sudah lewat, mungkin sudah tergantung cukup lama. Tali itu diikat di ventilasi pintu kamar mandinya, dibawahnya ada sebuah kursi yang terjatuh, mungkin digunakan untuk pijakan saat akan menggantung diri.

Di meja lampu disamping tempat tidurnya terdapat secarik kertas berisi tulisan tangannya



Aku sudah tidak tahan lagi. Sepertinya lebih baik aku mengakhiri hidupku sendiri. Aku tidak mau pembalas dendam itu yang mengakhiri hidupku. Aku tidak rela mati dibunuh. Si pembalas dendam itu, pembalas dendam gadis itu. Pembalas dendam Karra. Sampai sini sajalah hidupku, inilah akhirku, inilah tulisan terakhirku. Aku dan teman teman (Ahmed, Lasto,Mike) memang telah membunuh gadis itu, akulah yang menembaknya. Kami tidak suka dengan pernyataannya yang seakan menentang kami. Dia mengancam memberi tahu tentang penggelapan anggaran dalam acara kami. Aku tidak suka sifatnya yang sok tahu, dia tahu bahwa kami menggelapkan anggaran untuk acara yang kami selenggarakan dua tahun sekali tersebut. Aku terpaksa membungkam mulutnya. Awalnya aku sudah memberi tawaran yaitu kesempatan tampil di depan umum dan member bagian uang,tapi kudengar dia malah akan membeberkan kejahatan kami di depan umum. Dia sudah mempunyai bukti yang cukup. Mungkin sebaiknya memang dia mati saja. Sekarang mungkin giliranku untuk mati. Semoga si pembalas dendam itu juga mati. Mungkin karena kecelakaan atau apapun. Inilah akhir hidupku.



Itulah yang tertulis dalam secarik kertas di atas meja lampu itu. Di bawah kertas itu bertuliskan nama pak Kunto. Aku tidak menduga bahwa orang seperti dia bisa sampai seputus asa itu sampai mengakhiri hidupnya sendiri,kami menurunkan mayat pak Kunto dan menidurkannya di atas kasur. Hanya polisi di esok harilah yang bisa kami harapkan.

               Aku membuka pintu kamar pak Kunto. Kuncinya tergantung di lubang kunci, di depan pintu Anna dan Arrack sudah menunggu. “ada apa?” Tanya mereka bersamaan

               “pak Kunto sudah meninggal, dia tewas bunuh diri” jawabku pelan

               “mungkin dia sebenarnya pelakunya,” ucap Anna

               “tidak, dia meninggalkan ini,” aku memberikan kertas tulisan pak Kunto itu pada Anna

Dia membacanya berdua dengan Arrack. “jadi si pembalas dendam ini masih ada?” Tanya Anna.

Aku tidak menjawab. Benyamin hanya mengangkat kedua bahunya. Terlintas dipikiranku nenek Ellie. Apa mungkin nenek penuh semangat itu masih tertidur begitu lama, sepertinya tidak mungkin.

“dimanakah nenek Ellie?” tanyaku pada Anna.

“tidak tahu, mungkin di kamarnya” jawabnya cepat.

Kami semua berjalan menuju kamar nenek Ellie. Aku mengetuk pintu beberapa kali tapi tidak ada jawaban. Kuputar kenop pintu nenek Ellie, dan ternyata tidak terkunci. Disana tergeletak nenek Ellie dengan mata terpejam. Kuhampiri tubuh nenek renta itu, kupegang lehernya untuk merasakan apakah jantungnya masih berdetak. “dia juga meninggal” ucapku pada semuanya. Mereka hanya terdiam melihat tubuh yang sudah terbujur kaku itu. Disampingnya terdapat banyak tempat obat obatan dan sebuah kalung emas. “mungkin dia sakit jantung, ini adalah obat obat untuk sakit jantung,” ucap Benyamin yang tiba tiba sudah ada disampingku.

“lihat tangannya menggenggam sesuatu,” kubuka kertas yang di gulung di genggaman tangannya itu. Ternyata secarik surat juga



Aku, Ellie Elizabeth mengakui semua pembunuhan di rumah ini. Mereka memang pantas mati. Mereka telah membunuh anak asuh kesayanganku yang kurawat seperti anakku sendiri. Mereka membunuh Karra. Aku mengetahuinya dari dulu, tapi tidak ada bukti bukti atau saksi saksi yang kuat. Aku sempat mencuri dengar pembicaraan mereka seusai acara yang menewaskan Karra dua tahun lalu itu. Mereka berbicara tentang keberhasilannya membunuh anak asuh kesayanganku. Awalnya aku berniat menghabisi mereka satu persatu. Tapi nasib memang memihakku, polisi mengumpulkan kami di tempat ini. Aku tidak tahu apa kesalahan Karra, tapi aku yakin dia anak yang baik. Senyumnya lah yang membuatku bertahan hidup seperti ini. Empat tahun yang lalu dokter berkata bahwa hidupku hanya tersisa sekitar satu bulan lagi,tapi menurutku berkat senyum anak itulah aku bisa hidup sampai sekarang. Menjalani hidup sebagai orang tua asuhnya adalah kebahagiaan terbesarku. Tanpa dia aku lebih baik mati saja. Aku akan meminum semua obat ini dan berharap aku akan mengalami over dosis. Aku akan memberi tahu semuanya. Teriakan Kunto yang pertama adalah teriakan yang aku rekam setahun lalu saat aku memata matai kehidupan sehari harinya. Aku memutar rekaman itu di tape kamarnya. Aku menyembunyikan sisa tubuh Lasto dan Ahmed di gudang kecil di belakang gudang tempat menyimpan kayu bakar. Gudang itu sulit terlihat karena sudah tertutup tanaman liar. Soal trik ruang tertutup saat kematian Mike, sebenarnya pintunya tidak terkunci, tidak ada yang sempat mencoba membukanya. Semua terlalu panik dan langsung mendobrak. Aku sudah tidak perlu membunuh Kunto, aku sudah melihatnya mati tadi malam saat mengintip dari jendelanya. Sekarang aku bisa pergi dengan tenang, walaupun tidak ke tempat Karra. Karra pasti ada di surga, aku mungkin akan masuk neraka. Inilah akhir dari hidupku, maafkan aku karena sudah membuat yang lain takut. Terima kasih atas semuanya Gilar, Anna, Benyamin, dan Arrack. Sampaikan salamku pada anak anak panti asuhan yang ku asuh. Dan berikan pada mereka harta terakhir peninggalanku ini. Sampaikan maafku pada mereka dan katakana agar mereka menjaga dirinya.





Kuambil kalung emas tersebut dan menyimpannya dalam saku. Semua hanya bisa tertegun, kami berkumpul di ruang tengah. Aku menyalakan rokok, begitu pula dengan Benyamin dan Anna. Kami mulai berbasa basi tentang darimana asal daerah dan tempat tinggal. Arrack menyalakan cerutunya. Dia tida banyak berbicara. Aku teringat akan analisisku dua tahun lalu, aku memang sudah menduga pelakunya adalah panitia. Tapi aku tidak ingat wajahnya, dan ternyata dia adalah pak Kunto. Yang kuingat jelas hanyalah kata kata “tidak mungkin dia masih hidup aku sudah memastikannya dari tadi, peluru tepat menembus kepalanya, saat dia sedang berusaha melihat di kegelapan”. Bagaimana mungkin dia tahu bahwa Karra sedang berusaha melihat dalam kegelapan dan melihat peluru tepat menembus kepalanya kecuali dialah orang yang menembak. Mungkin dia menggunakan semacam night vision google atau semacamnya saat menembak. Dan tempat persembunyian potongan potongan mayat itu. “pantas saja gudang itu banyak sekali tikus dan lalat” gumamku dalam hati. Yah semua sudah bisa bernafas lega sekarang semua sudah berakhir



                                                                           ***



Kami semua tertidur di ruang tengah. Dan yang membangunkan kami adalah polisi yang datang menjemput kami. “bagaimana kedaan kalian?” Tanya seorang polisi

“kami melihat korban bertambah lagi, seorang bunuh diri tiga orang mati dibunuh dan pelakunya juga bunuh diri,apa menurut anda kami baik baik saja?”

“kami sudah tau semuanya, maafkan kami bertindak lambat, transmisi kami rusak jadi kami sulit dihubungi, baru kemarin aku mengetahuinya” jawab seorang polisi

“bagaimana caranya kau tahu?kau polisi sialan!” Tanya Benyamin heran sekaligus marah

“Arrack adalah mata mata kami, dia bisa berbahasa Indonesia dengan baik, dia hanya bersandiwara” jawabnya lagi

“hai semua, maafkan aku, tapi aku hanya menjalankan tugas, aku tidak bisa berbuat apa apa,” ucap Arrack dengan nada bersalah

Kami semua hanya bisa menggerutu dan kesal karena ternyata dibohongi selama ini. Aku menunjukan tempat tubuh tubuh para korban yang sudah mulai membusuk itu. Polisi mengangkut semuanya ke kota.

“ayo pulang,” ucap Anna dan Benyamin dengan semangat

Akhirnya aku tidak melakukan apa apa. Tidak menangkap sang pelaku. Tidak menyelamatkan siapapun. Aku hanya menganggukan kepalaku dan masuk ke dalam mobil polisi itu. Polisi mengantar kami sampai ke tempat awal kami diberi pertanyaan. Ke aula yang penuh aura gelap itu.

“daah semua,masih ada yang harus kulakukan,”ucapku pada Benyamin dan Anna. Mereka hanya tersenyum. Aku membuka pintu mobilku, menyalakan mesinnya dan memacu Toyota Solun itu kembali ke rumah yang hangat, tapi sebelumnya aku menuju panti asuhan tempat Ellie bekerja. Aku mendapatkan alamatnya dari kartu nama Ellie di dompetnya. Tidak begitu jauh dari aula tempat kami dikembalikan. Kubuka pintu tua yang sudah agak reyot itu, dan kulihat belasan anak yatim piatu juga seorang penjaga panti tersebut. Mereka semua menatapku heran, kusampaikan segera apa yang harus kusampaikan tentang kematian Ellie. Tentu saja tidak ku katakan bahwa dia bunuh diri. Aku berkata bahwa Ellie meninggal arena serangan jantung. Mereka semua hanya bisa menangis. Kuberikan kalung emas itu pada penjaga panti itu dan berpaling.  Aku kembali ke mobilku,menyalakan mesinnya dan memacu mobil itu ke rumahku. Kubuka gerbang rumahku, kuparkir mobil kesayanganku dan turun. Kubuka pintu depan rumahku, semua terlihat biasa saja, adik adikku, ibuku, pembantuku. Akupun berkata pelan

“Aku pulang..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar