Selasa, 30 September 2014

Maaf




Tiada gading yang tak retak, tiada pula kisah yang tak terbahasakan. Disini sebuah kisah telah tertoreh, tergaris dalam gelombang semesta yang tak pula menunjukan senyumnya. Tubuh ini tertegun seorang diri, dalam kesendirian yang tak kunjung sirna. Apalah arti emosi ini, tidak berbalas, tak pula bertuan, berjalan – jalan tanpa tujuan. Manis, asam, dan asin tak dapat terbantahkan. Bukan, bukanlah lidah yang merasa, bagian tubuh semu bernama hati nurani ini yang merasa. Tiada artinya, tiada pula wujudnya, namun sakit yang terasakan. Roda terus berputar, hidup terus berputar, waktu terus berjalan kedepan, namun hanya rasa ini yang tiada dapat bergerak, tiada menjauh maupun mendekat. Aku terbaring disini, tanpa daya, tanpa tenaga, bagai jelaga pada sebuah alat besi bundar di dapur ibuku.

Tak ada yang dapat kubuat, ataupun kuperbuat. Aku hanya tertegun didepan alat yang nyata ini, untuk menorehkan emosiku yang semu. Dalam bayangku, aku akan dapat membahasakan cerita di pikiranku ini, setidaknya satu dua halaman lebih lanjut. Namun apalah dayaku, aku hanya terbaring disini, memikirkan tawanya yang menjijikan, namun menenangkan, yang membuatku lupa akan segalanya, hanya memori menyenangkan dengannya. Bagaimana bisa kutulis ceritaku hanya dengan bermodalkan kisah  menyenangkan dengannya, kisahku ini seharusnya bukan kisah bahagia, namun aku terus berharap jikalau kisah ini berakhir bahagia. Maafkanlah naifku ini, maaf, dan sekali lagi maaf.

Furm ... . .--. .- .-. .- - . - .... . ..-. ..- .-. .- -. -.. - .... . --



Lelaki itu terasing sendiri
Berdiri..
Dalam pilu nuraninya
Dengan beragam kiluh kesah,
Serta ribuan sumpah serapah,
Terucapkan dari mulutnya..
Seakan semesta ini,
Mengutuk sekujur tubuhnya..

Terangkat pun kedua kakinya
Berjalan..
Dalam hamparan pasir nestapa
Mengumpat
Mengumpat
Dan tiada hentinya terus mengumpat

Ia berjalan perlahan
Menelusuri, ribuan jejak kaki
Dalam benaknya..
Dalam khayalnya..
Sesosok senyum nun jauh disana..
Senyum yang biasa, namun indah dimatanya
Senyum yang menyemangati,
Tak kala raga terasa mati

Diangkatnya kepala yang tertunduk..
Ditatapnya sang cakrawala..
Berganti pula air mukanya

Ia memantapkan langkahnya,
Menyusuri jalan setapaknya
Demi dapat melihat lagi..
Senyum indah,
Yang selalu hadir dalam mimpinya..