Minggu, 03 Juli 2011

cerita ke dua

Aku pertama mengenalnya di Balikpapan saat usiaku baru menginjak 3 tahun. Kami bersekolah di playgroup yang sama. Ibuku berteman baik dengan ibunya. Kami selalu menghabiskan waktu di sebuah warung soto banjar tidak jauh dari playgroup kami. Tentunya tidak berdua, bersama kedua orangtua kami. Keluargaku pergi kembali ke Jakarta karena orangtuaku dipindah tugaskan. Aku merasa sangat berat hati meninggalkan Balikpapan, aku tidak rela jauh darinya. Saat itu usiaku 5 tahun, dan aku merasa bahwa dia cinta pertamaku, mungkin lebih tepat disebut ‘cinta monyet’.
            16 tahun sudah berlalu, aku baru saja melakukan wisuda beberapa minggu yang lalu. Senang rasanya bisa kembali ke rumah dari tempat kos yang sempit dan hanya satu kamar. Hari ini aku mengambil semua barang barangku dari tempat kos kembali ke rumahku yang nyaman. Kucium aroma pepohonan di rumah yang usianya lebih dari empat kali usiaku. Kupandangi dinding kamarku yang penuh dengan coretan coretan semasa SMP dan SMA. Aku tersenyum kecil, membayangkan betapa cepatnya waktu sudah berlalu. Aku melakukan salah satu kegiatan favoritku. Kubakar sebatang rokok, dan kubuka sebuah peti tua dari rotan di depan jendela kamarku. Satu persatu kupandang isi dari album foto tua yang sudah berdebu. Aku bisa menghabiskan berjam jam hanya untuk kegiatan ini.
            Aku tidak hanya melihat foto fotoku, kulihat foto kedua orangtuaku, foto disaat mereka baru saja menikah. Terlihat senyum di kedua wajah itu. Kubuka album lain. Aku tersenyum lagi, album ini berisi foto foto saat kapal yang dinaiki ibuku karam dan dia bersama beberapa temannya terapung apung selama 7 hari. Sudah puas dengan album itu, kubuka album berikutnya. Di depannya bertuliskan “Poenya Phertem” yang tidak lain dan tidak bukan adalah ayahku. Kulihat satu persatu foto di album itu, foto foto disaat dia masih duduk di sekolah menengah atas. Tiga jam sudah berlalu, aku menyandarkan kepalaku pada tembok yang masih terbuat dari kapur. Kuhisap lagi sebatang rokok. Tanpa aku mau, mataku meneteskan butir butir air mata, mengingat bahwa dulu aku punya keluarga yang lengkap, lebih dari sepuluh tahun lalu, saat orangtuaku belum bercerai.
            Mungkin dulu terasa begitu menyenangkan. Memiliki sebuah rumah sendiri di daerah Jati Asih, walau tidak mempunyai banyak teman. Sekarang hidupku begini begini saja. Duduk, melamun, berkumpul kumpul dengan teman semasa SMA, sama sekali tidak ada hal yang positif. Namun inilah hidupku sekarang.
            Aku tertawa, menyadari betapa bodohnya diriku bila masih saja mengingat ingat hal tersebut. Apa boleh buat, kenangan seperti itu mau tidak mau akan terus melekat. “tet tet tet” suara dering pertanda ada SMS masuk di HP ku membuyarkan segalanya. Kutekan tombol open, “Gilar, besok jemput Stella di airport jam sembilan malam.” Aku sempat terpelongo. Kulihat nomor pengirim SMS tersebut,ternyata dari ibuku. “Stella” gumamku. Stella adalah temanku di Balikpapan yang merupakan cinta pertamaku. Orangtua kami memang terkadang masih sering berhubungan, tapi aku tidak menyangka stella akan datang.
            “Seperti apa ya wajah stella sekarang?” gumamku lagi. Akhirnya akupun sadar bahwa aku lupa wajahnya. Kubongkar lagi peti rotan di bawah jendelaku. Mencari cari foto saat aku kecil, berharap bahwa wajahnya tidak berubah banyak. Kutemukan sebuah foto kami saat di playgroup. Aku menggandeng tangannya, disebelah kami ada kedua orangtua kami. Kuingat ingat wajah itu dalam benaku dalam dalam.


                                                                        ***
Dan haripun sudah berganti, peti tua rotan itu masih berada di depan jendela kamarku dan adikku masih duduk di depan komputer kami. Dia memainkan permainan online yang sudah kami mainkan selama kurang lebih tujuh tahunan. Aku duduk di belakangnya. Memperhatikan dia bermain dengan serius sampai ada lima buah benda panjang yang mencengkram bahuku, ternyata tangan ibuku yang baru saja keluar dari kamarnya.
“Gilar inget nanti jemput Stella jam 9 loh,” ucap ibuku mengingatkan.
“Iya iya, tenang aja nggak lupa kok,” ucapku santai.
Aku masuk ke kamarku, mengambil sebuah novel Agatha Christie dan mulai membacanya. Kunyalakan AC kamarku, berbaring di atas kasur, kubaca lembar demi lembar halaman novel itu, mengagumi karyanya dan berharap bisa menulis sepertinya. Hingga akhirnya aku terlelap.
“GILAAAAR!!! Katanya ingat, mana? Udah jam berapa ini?” bentak ibuku.
“Iya iya maaf,” ucapku saat tersentak dari tidurku.
Kukenakan kaos dan celana jeansku. Kuambil kunci mobilku, dompet, dan tidak lupa foto masa kecilku, dengan harapan bisa sedikit membantu menemukan Stella. Kunyalakan mesin mobilku dan berusaha memacunya dengan kencang. Tapi nasib berkata lain, jalan pada malam itu sangat padat. Aku terlambat lebih dari satu jam. Kuparkir mobilku di depan terminal kedatangan tempatku menjemput Stella. Aku berlari kecil menuju tempat kedatangan dan bertanya pada orang disitu.
“Pak, yang dari Balikpapan sudah landing?” tanyaku terengah engah.
“Waduh sudah daritadi dek, kalau ini dari Irian,” jawabnya.
“aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa, gimana ini.”
Aku berjalan berputar putar. Melewati berbagai tempat makanan, mulai dari Dunkin Donut sampai A&W. hatiku tidak karuan, diserang oleh perasaan bersalah ini. Aku sudah seperti seorang anak banteng kehilahangan rombongannya.
“Gilar!!” terdengar suara di kejauhan, tepatnya berasal dari Dunkin Donut
“Anda siapa ya?” tanyaku pada wanita cantik itu.
“Ini aku, Stella, jahat banget bisa sampai lupa. Tadi aku udah lihat kamu mondar mandir, tapi takut mau manggil, takut salah. Eh ternyata benar,” ucapnya lembut
“Heheheheh..” aku cuma bisa tertawa najis.
“Kamu ga berubah ya lar.”
“Masa sih? Kamu tuh berubah banget,” jawabku gugup.
Bagaimana tidak berubah, anak gembul yang ada di foto kecilku kini berubah menjadi wanita super cantik. Rambutnya lurus, hitam kecoklatan, panjangnya sepunggung. Kulitnya putih mulus. Tingginya kira kira 165 cm. Kaos  putih itu sangat pas sekali di tubuhnya, begitupula dengan celana pendeknya yang jauh diatas dengkul. Wanita itu membawa dua buah koper yang diletakannya di sebelah kursi tempatnya duduk.
“Duduk dulu lar, banyak yang mau aku ceritain ke kamu,” ucapnya.
Akupun duduk di depannya. Kami bercakap cakap cukup lama. Saat jam sudah menunjukan angka 11.30, aku memutuskan untuk mengantarnya pulang. Awalnya dia tidak mau dengan alasan masih banyak hal yang ingin dia ceritakan. Aku pun sebenarnya berat hati untuk mengantarkannya pulang. Tapi apa kata ibuku bila dia tau aku membawa anak gadis orang yang baru datang dari Kalimantan hingga selarut ini tanpa mengantarkan ke rumahnya terlebih dahulu. Akhirnya aku berhasil membujuknya dengan mengajaknya bertemu lagi esok hari.
Aku mengantarnya ke rumah salah satu sanak saudaranya di daerah Plumpang. Aku turun sebentar dan berpamitan pada tantenya dan kembali ke mobil. Dia mengantarku sampai ke mobil.
“Makasih ya, inget lo besok harus jadi,” ucapnya dengan bersemangat.
“Iya tenang aja, aku jemput ya besok.”
Aku memacu mobilku pelan ke arah Klender. Tingkahku mungkin seperti orang tidak waras, senyum senyum sendiri, bernyanyi nyayi keras, dan hal hal lainnya. Bagaimana tidak, teman kecil yang bahkan cinta pertamaku datang menemuiku lagi, dengan wujud yang sangat cantik. Aku mencubit tangan dan pipiku untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi. Tidak cukup satu kali, aku melakukan hal itu dua kali hingga tangan dan pipiku memerah. Ternyata sakit, artinya ini bukan mimpi.
            Mobilku kupacu dengan cukup cepat, hanya sekitar 20 menit belokan masuk ke daerah rumahku sudah terlihat. Aku menyalakan lampu sign kiri. Kusapa penjual es kelapa di belokan itu. Kubuka pintu gerbang reyot yang berhiaskan angka 25 di tembok sebelah kanannya. Kuparkir mobilku tepat dibawah sebuah pohon sawo besar yang usianya setua rumah peninggalan belanda itu. Aku masuk ke dalam rumah, kulihat adikku masih berkutat dengan komputernya. Kami memang bisa memainkan benda itu seharian. Kulakukan kegiatan favoritku, membuka pintu kamar, menyalakan AC, mengambil novel, berbaring dan membacanya hingga aku terbang ke pulau kapuk.

                                                                        ***

Aku tersentak dari tidurku, keringat membasahi tubuhku. Sepertinya aku bermimpi buruk tapi aku tidak bisa ingat apa itu. Inilah salah satu kebiasaanku, kembali tidur untuk melanjutkan mimpi. Aku kembali terbangun, seluruh keringat sudah menguap dari tubuhku. Kulihat jam di dinding kamarku, jarum jarumnya menunjukan sudah jam 2 siang. Aku duduk di kasurku mengingat ingat apa yang akan kulakukan hari ini. “Makan, ketemu Stella, makan lagi, pulang, dan tidur,” gumamku dalam hati. Sepertinya tidak ada hal menarik. Tiba tiba mataku yang masih setengah tidur terbuka lebar. ‘JANJI DENGAN STELLA!’ satu hal penting yang aku lupakan. Sebenarnya sudah kusebut tadi, tapi aku mengira itu hanyalah kegiatanku sehari hari yang biasa. Dengan cekatan kuraih handphone yang tergeletak disampingku. Kucari nomor Stella di contact list. Dan ternyata tidak ada, aku baru sadar bahwa aku lupa meminta nomornya. Kuhampiri ibuku yang memasak di dapur, kuminta nomor handphone tante Stella. Kutekan 12 digit nomornya dan bertanya berapa nomor handphone Stella.
            Setelah melewati usaha yang keras dan penuh kesabaran, aku mendapatkan nomor handphone –nya. Saat panggilanku di angkat, suara lembut menyambut di sebrang telepon.
“Halo, kenapa lar,” ucap Stella.
“ Kita jadi ketemu apa nggak?” jawabku.
“Jadi doong, kamu jemput aku ya.”
“oke, aku berangkat jemput kamu jam setengah 3 ya.”
“oke, aku mandi dulu.”
Terdengar suara pemutusan panggilan. Aku bergegas ke kamar mandi, membersihkan semua anggota tubuhku lalu menuju kamarku untuk berpakaian. Kukenakan celana jeans yang sudah lebih dari sebulan tidak kucuci dan kaos putih. Kuambil kunci mobil dari sebelah wastafel, dan kupacu mobilku dengan cepat. Memang aku terburu buru, tapi lampu lalu lintas tampak tidak bersahabat. Aku sudah melalui empat lampu merah dengan 90 detik penantian tiada tara di tiap lampu. Aku sempat membuka kaca untuk memberi recehan pada seorang yang sudah kehilangan sebelah kakinya. Kulihat jam di tanganku, jarumnya menunjukan jam 3.20. Aku memakan waktu 50 menit untuk sampai ke rumahnya. Waktu yang cukup singkat mengingat jarak dari rumahku ke rumahnya yang jauh dan lalu lintas yang sangat padat. Mataku terbelalak saat sampai di depan rumahnya, orang orang memenuhi berkerumun di depan pagarnya. Kulihat sepintas garis kuning melingkari rumahnya. Kuhubungi handphone Stella untuk memanggilnya keluar rumah. Diapun keluar dengan wajah ketakutan. Dia menghampiriku dan memeluk tubuhku.

“Ada apa Stella?” ucapku menenangkan sembari mengusap punggungnya.
“Om Hesa meninggal, polisi bilang dia diracun,” ucapnya.
“Yaudah kamu tenang dulu yah, aku mau tanya sama polisinya dulu.”
Sepengetahuanku, Hesa adalah pria yang baik, aku pernah bertemu dan berbicara dengannya saat kecil. Tubuhnya gempal dan tidak begitu tinggi, mungkin 167 cm. Kulitnya hitam dengan rambut botak dan menggunakan kacamata untuk alat bantu lihat sama sepertiku. Dia bekerja sebagai
“Ada apa pak?” tanyaku pada seorang polisi disana.
“Anda siapa?” tanyanya heran.
“Saya kerabat dekatnya, apa benar Om Hesa meninggal?”
“Benar, beliau meninggal sekitar 15 menit yang lalu, penyebabnya masih belum diketahui, kami akan melakukan otopsi sesegera mungkin.”
Setelah menjawab pertanyaanku dia beralih ke rekan rekannya dan sibuk menggarisi posisi mayat dengan kapur putih lalu membawa mayat itu ke rumah sakit untuk diotopsi. Mereka pun pergi meninggalkan kami. Aku, Stella,  Tante Carolin yang merupakan istri Om Hesa, Om Faris dan istrinya Tante Indri, mbok Minah si pembantu rumah, pak Kardi sang supir, pak Irfan si tukang kebun, dan tamu Om Hesa bernama Mira.
            Kami semua hanya bisa duduk dan menunggu. Polisi tidak mengijinkan kami pergi kemana mana sampai mendapat informasi lebih lanjut. Kami duduk di ruang tamu. Om Faris dan istrinya duduk di sofa panjang, dia cukup terpukul melihat adik kandungnya meninggal, istrinya duduk disebelahnya berusaha menenangkan. Aku dan Stella duduk di hadapannya, Stella memelukku ketakutan. Tante Carolin hanya bisa menangis membelakangi kami semua. Pak Kardi, Irfan dan mbok minah tambak berbicara berbisik bisik, sedangkan Mira duduk menghadap ke jendela memandangi jalan. Kami terus pada posisi kami hingga matahari mulai terbenam. Tangisan Tante Caroline sudah semakin berkurang tapi tetap tidak bisa berhenti.
            Aku meninggalkan Stella untuk melihat lihat rumah. Kulihat ada gambar manusia dari kapur putih di dalam kamar Om Hesa. Aku kembali dan bertanya pada Stella.
“Bagaimana Om Hesa meninggal?”
“Setelah menenggak kopi buatan mbok Minah, dia sempat bolak balik ke toilet dan mengeluh sakit, tapi dia bilang mungkin ini hanya sakit biasa, jadi kami tidak memanggil dokter,” jawabnya gugup.
“Lalu?”
“Aku membiarkannya berbaring dan saat aku kembali dia sudah tidak bernyawa, aku segera memanggil polisi dan ambulans.”
“Apakah hanya mbok Minah yang menyentuh kopi itu?”
“Seingatku iya, tapi kopi itu sempat diletakkan di meja tamu saat mbok Minah memanggil Om Hesa untuk memberi tahu kopinya sudah jadi, aku tidak begitu memperhatikan, tampaknya semua orang sibuk dengan urusannya masing masing.”
Setelah mengucapkan itu dia mulai menangis dan memelukku, yang bisa kulakukan hanya mengusap pundaknya. Satu hal yang aku tau sekarang, kemungkinan dia dibunuh, dan pelakunya ada diantara orang orang yang saat ini bersamaku. Mungkin pembunuhnya menggunakan racun yang dia masukan ke dalam kopi Om Hesa. Bisa saja si tukang kebun, pembantu, supir, ataupun tamu dan keluarganya. Siapa saja bisa memasukan racun ke dalam kopi itu semudah mengajak anak kecil bermain ke tempat bermain.
Setelah ratusan menit kami semua terdiam di dalam ruangan itu, telepon rumah berdering. Tante Caroline segera beranjak dari tempatnya,meraih gagang telepon dengan sigap. Mulutnya tampak berkatup katup sebentar lalu terdiam. Dia kembali pada posisi duduknya semula dan memandang kearah kami semua. Dia meminta semua untuk duduk dan mendengarkan apa kata katanya, wajahnya tampak begitu serius.
“Semuanya dengarkan aku, kita tidak diperbolehkan untuk pergi dari rumah ini tanpa seijin Polisi,” ucapnya.
“Tapi kenapa? Saya kan hanya tamu Pak Hesa. Awalnya saya ingin meminjam uang tapi siapa yang tau akan menjadi seperti ini. Saya harus pulang dan menemui keluarga saya,” ucap Mira gugup.
“Hesa terbunuh. Polisi berkata demikian, ditemukan kandungan arsenik dalam tubuhnya, semua orang disini menjadi tersangka, kecuali Gilar yang datang setelah kejadian, kau bisa pulang jika kau mau Gilar,” ucapnya.   
Aku merasa kehadiranku sudah tidak begitu dibutuhkan lagi disini. Aku beranjak dari tempat dudukku, membetulkan tali sepatuku yang tidak karuan, mengambil kunci mobilku di atas meja dan kembali ke sofa untuk berpamitan. Aku sudah mengucap kata pamit pada semua orang disitu hingga akhirnya Stella memanggilku. Aku menghampirinya, masih kurang 1 langkah lagi untuk sampai ke tempatnya, dia berdiri dan memelukku. “Kamu jangan pergi, aku takut. Menginaplah disini, ada banyak kamar kosong,” ucapnya meyakinkanku. Aku mengusap punggungnya seraya menenangkannya “aku pulang ya,” bisikku padanya. Dia tidak berkata apa apa, tapi dia memelukku semakin erak yang merupakan pertanda bahwa akan sangat mengecewakannya bila aku pulang. Aku memutuskan untuk menginap.
            Tante Indri dan Stella mengantarkanku ke sebuah kamar di ujung rumah yang berbentuk huruf L itu. Sebuah kamar yang tidak besar dan tidak kecil dengan tembok berwarna coklat tua. Lantainya bersih, aku tidak dapat menemukan sarang laba laba ataupun debu tebal menumpuk pada bingkai jendela yang biasanya ada pada kamar yang tidak pernah dipakai. Sebuah kasur diletakkan di sudut ruangan. Ukurannya tidak besar, hanya untuk satu orang, mungkin satu setengah kali setengah meter. Hanya sebuah kasur tanpa ranjang tapi nyaman, membuatku teringat akan kamar tempatku kost dulu. Ada sebuah lemari dengan tinggi sekitar satu meter dan lebar sepertiganya di sebelah kasur. Yah, tidak ada gunanya juga, aku tidak membawa baju sehelaipun. Setelah kupikir ulang, sepertinya aku butuh mandi dan artinya aku butuh pakaian. Kuhubungi adikku ke ponselnya, kuminta dia membawakanku pakaian secukupnya untuk satu malam.
            Tidak sampai setengah jam adikku sudah sampai. Diparkirnya sebuah sepeda motor matic di pekarangan dan menghubungi ponselku. Aku tidak perlu sampai menerima panggilannya, aku sudah melihat lihat keluar dari tadi. Kubuka pintu depan, dia menghampiriku dan memberikanku sebuah plastik berisi pakaian. Tanpa berkata apa apa dia mengendarai sepeda motornya dan menghilang dari penglihatanku. Kubuka plastik yang dibawakan adikku itu. Isinya hanya sebuah kaos dan pakaian dalam, pas sekali untuk satu hari ke depan.


DAAAAAAAAAAAN BERSAMBUNG MENTOK UDAH MAU 4 TAUN

1 komentar:

  1. HUAHAHAHA KENAPA ENDINGNYA MENTOK 4 TAUN OYYY ZAMFAH (˘̩̩̩⌣˘̩ƪ)

    BalasHapus