Kamis, 08 Oktober 2015

Janji

Di Suatu hari, Di Satu pagi
Ibuku datang, Dengan keranjang berlubang – lubang
Kutanya padanya, “Ibu, mengapa itu Penuh lubang?”

Ia tersenyum ceria, Sebuah hadiah untuk ku ucapya
Ia buka keranjangnya, se-ekor kucing rupaya
Ingatku, aku pernah bergumam
“Bu, kucing itu lucu ya”, pada suatu malam

Kutatap kucing itu
Betapa manisnya, dengan sepasang taring seakan satu
Betapa gembira hatiku saat itu
Janjiku pada diriku, kujaga ia sampai akhir hayatku
Ataupun, akhir hayatnya

Beberapa masa berlalu, tak ada yang mampu melawan waktu
Aku harus pergi dari rumahku, mengejar mimpiku
Kutatap Kucingku, kutitipkan pada Ibuku

Di satu waktu aku kembali

Kutanya ibuku, “Bu, dimana Kucingku?”
Seorang anak memintanya, matanya berkaca kaca
Ibuku memang harus bekerja, tiada waktu menjaganya
Namun aku rindu, saat kucing itu mengelus kakiku, dengan kepalanya


Aku berjalan di sekitar perlahan
Sejenak langkahku tertahan

Kucingku, setidaknya dulu
Bermain – main dengan pemilik baru
Esok hari, kudatangi lagi
Walau hanya sebatas pagar
Aku menggenggam sepotong ayam goreng, buatan ibuku
Hendak kuambil gigitan pertamaku
Namun kucing yang dahulu miliku 
Menghampiriku

Mengeong, menatapku, dengan tatapan yang berkaca
Laparkah dia, dimana pemiliknya
Kuturunkan tanganku dari depan mulutku
Di jalan itu, kududukan diriku
Seraya memberinya sepotong ayam buatan ibuku

Diri kecilku berjanji 
Akan menjaganya
Walau waktu terus berjalan, semua dapat berubah, semuanya 
Namun janji tetaplah janji

Jadi akan kujaganya
Semampuku
Hingga akhir hayatnya
Ataupun.... akhir hayatku

Sabtu, 03 Oktober 2015

Galias Simple case

This story was made for someone, so hope it will be a good story. I really appreciate any comment and critics, happy reading


Langkahnya terhenti sesaat, disusul deru nafas yang memburu akibat kelelahan. Didongakkan  kepalanya kearah langit seraya berusaha mencari tambahan udara demi paru – parunya yang kelelahan. “Aku memang kurang berolahraga,” ucapnya dengan sisa nafas yang seadanya. Kini dia baru menyesali dalam hati mengapa ia memarkir kendaraannya begitu jauh. Lelaki itu kemudian berjalan menuju salah satu rumah yang dibatasi pita kuning-hitam yang mengitari seluruh halaman. “Jadi apa yang bisa kubantu, teman,” ucapnya pada seorang laki – laki disana.
            “Galias!! Bukankah aku memintamu datang lebih dari satu jam yang lalu, lama betul kau,” jawab lelaki itu dengan nada yang cukup memendam amarah. “Lihat ini, korban bernama Doni. Ia mungkin terbunuh kemarin malam. Motifnya mungkin uang, lemari korban dijebol dan berantakan. Beberapa benda mungkin hilang dari sana. Dompet korban pun kosong melompong. Korban adalah seorang pengusaha kaya. Kau tahu software Mengci? Dia adalah direktur perusahaan pengembangannya.”
            “Tenang Toni, tenang,” jawab Galias dengan sedikit senyum yang agak ganjil. “Aku terjebak kemacetan diperjalanan. Yah, kau tahu kan bagaimana kota ini. Kalau hanya perampokan biasa, mengapa kau minta bantuanku, aku tidak tertarik dengan hal – hal yang sudah jelas seperti ini. Tidak menantang.”
“Kemacetan pantatmu!! Nafas mu saja beraroma alkohol, pemabuk!!” balas Toni dengan sinis. “Kau memang manusia sejuta alasan, selalu saja ada yang kau salahkan untuk keteledoran – ketelodoran kecilmu. Sudahlah, lihat ini,” ucapnya sembari menunjuk ke pintu depan rumah tersebut. “Sama halnya dengan pintu belakang dan semua jendela, tidak ada tanda – tanda dibuka paksa, apakah ini cukup menarik?”
“Masih kurang menarik,” ucap Galias ketus. “Izinkan aku melihat seluruh tempat kejadian, juga mayatnya, kau ataupun anak buahmu belum merubah apapun kan? Sekarang pandu aku, aku benci dengan tatapan asing para anak buahmu.”
Toni kemudian menemani temannya itu melihat sekitar. Tubuh Doni yang sudah tidak bernyawa masih tergeletak disana. Ambulans sedang dalam perjalanan sejak sekitar setengah jam yang lalu, namun tak kunjung sampai. Terdapat tujuh tusukan pada tubuh Doni. Tiga disekitar dada, satu di leher, dua di perut dan sebuah tusukan pada sisi luar paha kanan korban. Galias berjongkok dan memperhatikan. Tipis, terdapat jejak kaki dari darah. Ia memperhatikan jejak kaki itu dengan matanya yang kemerahan dan bergumam.
            “Sepatunya belum kami temukan, namun senjata pembunuhnya, sebilah pisau combat sudah kami termukan di tempat sampah depan, bersamaan dengan sebuah jaket lusuh yang penuh darah. Bawahanku sedang memeriksanya, tapi pada masa ini dimana banyak film – film mengenai kejahatan pembunuhan, kita tidak bisa berharap banyak akan adanya sidik jari. Film – film itu, oh tuhan, membuat semua pelaku kejahatan menggunakan sarung tangan.” ucap Toni seraya menghela nafas. 
Galias kembali tersenyum ganjil dan menatap temannya itu dengan mata yang sayu kemerahan. “Bukan temanku, bukan. Lihat ini, jejak kaki ini tercipta setelah ia membunuh korban bukan. Lalu jejak ini mengarah menjauhi korban, namun ada jejak yang sama mendekati korban. Jejak yang mendekat itu lebih samar, namun dari sepatu yang sama. Biar kutebak apa yang ada dipikiranmu, ‘pelaku kembali untuk memastikan korbannya sudah mati’, bukan begitu? Namun tidak temanku, perhatikan luka pada tubuhnya, dua dari tiga luka tusukan di dada dan satu dari tusukan di perut sepertinya tidak mengeluarkan banyak darah. Mungkin aku salah, biarlah nanti tim forensik yang memeriksanya, namun sepertinya pelaku kita ini kembali setelah korban mati beberapa menit dan menikamnya lagi, tiga kali. Untuk apa? Aku rasa motifnya bukan uang sobat, dendam, ini pasti berhubungan dengan dendam, begitulah bisikan pada otak kecilku.”
“Hmm, lalu, kalau begitu..”
“Berhenti bergumam!! Sekarang lakukan tugasmu sebagai petugas berwajib. Tersangka!! Kita butuh tersangka. Kita butuh saksi, penjaga di depan kompleks pasti tahu siapa saja yang masuk ke wilayah ini bukan. Kemudian kau cari siapa saja yang mengenal korban, yang datang ke wilayah ini, cepat!! Sebenarnya siapa sih yang petugas bertanggung jawab, kau atau aku.”
“Aku tahu, berhenti mendikteku. Apakah ada hal lain yang kau dapatkan, atau kau rasa aneh?”
“Untuk sementara itu saja dulu, sekarang izinkan aku pulang, aku punya beberapa hal yang harus dikerjakan. Tolong hubungi aku saat kau sudah mendapatkan para tersangkanya,” jawab Galias dengan datar. Ia pun melangkah keluar, menghela nafas membayangkan betapa jauh ia memarkir kendaraannya. Namun sebelum itu ia membuka aplikasi pencatat pada handphone nya dan menuliskan beberapa hal. Ia kemudian tersenyum.

Dua hari kemudian Galias berjalan perlahan menghampiri handphonenya yang berdering di atas tempat tidur. “Jadi kita punya tiga tersangka?” jawabnya membalas suara disebrang teleponnya. “Cukup cepat juga kinerja kalian sebagai aparat pemerintahan, aku cukup kagum. Kukira semuanya sama, sama sama pekerja santai dengan beragam tetek bengeknya, dengan perut yang membuncit,” ucap Galias disusul tawa ringan.
“Jangan kau label kami secara menyeluruh seperti itu, walau memang terdapat yang kenyataannya benar – benar demikian, namun tidak semuanya seperti itu. Memang sial, hanya aparat yang bertipikal seperti kau sebut lah yang terangkat media pada masa ini,” jawab Toni dengan agak kesal. “Lalu bagaimana, apakah kau akan menemuiku sekarang? Hasil test forensik pun sudah keluar. Tepat seperti yang kau katakan, ada tiga luka yang dibuat setelah korban menghembuskan nafas terakhirnya. Benar – benar pekerjaan yang brutal. Apakah kita sedang mencari seorang psychopath disini.”
“Belum saatnya kawan, kau masih harus melakukan sesuatu,” ucap Galias dengan nada yang sedikit congkak. “Sebaiknya kau siapkan tiga lembar kertas a4, kemudian kau minta setiap orang tersangka itu menggambar sebuah pohon, beserta buahnya, minta mereka untuk menggambar sedetil mungkin. Kau lakukan itu setelah meminta informasi mengenai mereka, termasuk cari tahu latar belakangnya, dan jangan lupa kau dokumentasikan semuanya dengan kamera pena ataupun kamera tersembunyi lainnya. Apakah itu mungkin?”
            “Yaa, itu bisa saja kulakukan walau mungkin akan memakan waktu, tapi untuk apa meminta mereka menggambar dan mendokumentasikannya?” tanya Toni dengan heran.
            “Sudah lakukan saja!! Kalau kau sudah melakukannya beritahu aku. Percayalah saja pada temanmu ini. Aku tidak pernah mengecewakanmu bukan, sobat,” ucap Galias yang kemudian memutuskan sambungan telepon dan menenggak habis whisky dalam gelasnya. “Ini memang terlalu ringan untukku,” gumamnya, entah terhadap kasus ini atau whisky yang baru saja dihabiskannya.

Matahari cukup menyengat pada siang lima hari kemudian. Toni menghubungi Galias sekali lagi. Mereka berencana akan bertemu di tempat biasa mereka makan siang saat sedang membicarakan urusan seperti ini. Sudah lewat empat puluh lima menit sejak waktu yang dijanjikan, namun batang hidung Galias belum juga kelihatan.
            Tak lama kemudian Galias datang dengan membawa sebuah tas laptop. Setelah memesan makanan kepada pramusaji ia kemudian membuka laptopnya. “Baiklah kau bawa rekaman dokumentasinya kan?” tanyanya kepada Toni yang sedang mengunyah kentang goreng dengan lahap. “Namun sebaiknya kau ceritakan dulu padaku mengenai masing masing tersangka.”
            “Baiklah, dengarkan baik – baik, karena aku lelah jika harus mengulangnya,” jawabnya seraya melahap potongan kentang goreng yang dipegangnya. “Yang pertama adalah kekasihnya, namanya Reyna. Dia hanyalah seorang manager biasa di suatu perusahaan otomotif. Mereka sudah menjalin hubungan selama kurang lebih tiga tahun dan berencana akan menikah tahun depan. Saat kutanyai dia terus menerus menangis, agak dramatisir, bahkan terdapat banyak bercak air mata pada kertasnya saat kuminta menggambar pohon. Tidak ada yang mencurigakan darinya kecuali ke-berlebihan-nya. Menurut pengakuannya ia datang hanya untuk berkunjung sepulang dari makan malam dengan teman kantornya. Dia adalah tersangka yang datang pertama menurut petugas keamanan kompleks. Yang datang kedua adalah Tino, teman SMA korban. Perangainya tinggi besar, ia memiliki bekas luka yang cukup mencolok di pipinya. Ia membuka sebuah usaha rumah makan kelas menengah di daerah Gajah Mada. Namun setelah kuselidiki lebih lanjut, nampaknya ia juga seorang ‘preman’ yang cukup kondang di wilayah Tanah Abang. Ia mengakui terang – terangan, walau terlihat ragu saat akan mengatakannya, bahwa ia datang untuk meminjam uang kepada teman semasa SMA-nya itu. Kemudian yang terakhir adalah Adnan. Tampang dan tubuhnya biasa saja, dengan tinggi rata – rata dan badan yang tidak gemuk ataupun kurus. Ia adalah teman korban semasa kuliah di fakultas ilmu komputer. Dia juga bekerja pada perusahaan milik korban, menurut beberapa sumber, keduanya terbilang dekat semasa kuliah. Menurut pengakuannya ia datang untuk membicarakan urusan kantor, namun korban tidak keluar saat dia datang dan mengetuk pintunya, tidak juga mengangkat panggilan teleponnya, jadi ia pergi meninggalkan tempat itu. Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan, ini rekaman dan gambar yang mereka buat,” ucap Toni mengulurkan sebuah flashdisk dan tiga lembar kertas bergambar.
            Galias mengambil kertas dan flashdisk tersebut, “kita tidak butuh ini,” ucapnya seraya merobek ketiga kertas tersebut dan memasukkan flashdisk tersebut pada slot di laptopnya.
            “Jadi untuk apa kita meminta mereka menggambar? Atau kau hanya ingin membuatku repot dengan segala persyaratanmu? Sial!!” ucap Toni kesal.
            “Sudah kubilang, percayakan saja pada temanmu ini,” ucapnya sombong. “Kau habiskan saja dulu santapanmu itu dan dengarkan permintaanku berikutnya setelah aku melihat rekaman ini.”
Seperti seorang bocah yang penurut, Toni melakukan apa yang temannya itu katakan. Ia mulai memotong bongkahan daging panggang yang ada di hadapannya dengan pisau dan garpu yang sudah disediakan dan menyantapnya dengan lahap.
“Kau tangkap saja Adnan ini,” ucapnya santai setelah melihat ketiga rekaman. “Kau bisa menggeledah rumahnya dan menemukan sepatu dengan bercak darah tersebut. Atau jika sudah dibersihkan, reaksinya akan tetap ada bukan, teknologi sekarang sudah maju. Kurasa ia tidak akan membuangnya karena jejak itu cocok dengan jenis sepatu yang terbilang cukup mahal. Aku sudah mencarinya di internet. Cukup kau katakan bahwa kau memiliki bukti kuat bahwa dia pelakunya dan apabila ia tidak bersikap koperatif maka hukumannya akan diperberat nantinya karena dia sudah dipastikan bersalah. Mungkin dia akan berkata bahwa alasannya adalah dendam karena software yang ia buat bersama – sama dengan Doni, hanya memperkaya temannya itu. Dia merasa korban mengambil haknya. Kau bisa menghubungiku lagi jika sudah menyelesaikannya, sudah kubilang kan, ini terlalu mudah.,” ucap Galias yang kemudian berdiri, menyeruput habis minumannya, dan berjalan ke arah pintu keluar.
            “Hei tunggu dulu!! Apa – apaan itu!!” sentak Toni terkaget.
            “Harus ku ulang lagi? Percaya saja pada temanmu ini,” jawabnya diikuti tawa kecil, “Bye bye... Hubungi aku setelah kau menyelesaikan kasusmu.”
            “Manusia sialan!!” umpat Toni menatapi temannya yang sudah berada di luar ruangan dan berjalan menuju ke arah tempat parkir.

“Kau ini apa? Peramal? Cenayang? Atau ahli sihir?” tanya Toni kepada temanya itu di line telepon. “Dia benar – benar memberikan alasan yang sama dengan apa yang kau katakan, beritahu aku darimana kau mencurigainya. Yang tampak mencurigakan bagiku justru Tito, seorang preman tanah abang. Lagipula ia yang terakhir kali melihat korban masih hidup.”
            “Harus ku ulangi berapa ratus kali agar kau mendengar, percayalah saja pada temanmu ini,” jawab Galias dengan nada bangga. “Kali ini kau, sobat, yang memandang orang dari labelnya, mencurigai seorang preman. Memang itu wajar, namun kali ini kau salah. Dan sudah kubilang motifnya bukanlah uang. Kau ingat luka di paha kanan korban? Tusukan itu berada di sisi luar. Melihat posisi luka korban yang lain, pastilah ia diserang dari depan. Jadi kuasumsikan bahwa pelaku adalah orang yang kidal. Sekarang kau mengerti bukan, mengapa aku menyuruhmu untuk meminta ketiga orang itu menggambar selagi kau dokumentasikan. Benar, karena orang kidal dapat berlatih menulis dengan tangan kanan, namun menggambar dengan tangan kanan cukup sulit, kecuali kau memang seorang pelukis atau apalah, belum lagi kau meminta gambar yang cukup detil. Karena itulah kita tidak butuh gambar tersebut, rekaman itulah kuncinya. Lalu mengenai alasannya. Haha!! Itu aku hanya menebak saja, terlalu banyak menonton film – film mungkin. Keberuntungan terbesar adalah diantara ketiga orang tersangka itu, hanya Adnan yang kidal. Tepat sudah panah cintaku padanya.”
            “Dasar bajingan yang beruntung, bajingan cerdas yang beruntung.”
            “Terserah apa katamu, lagi – lagi aku tak mengecewakanmu bukan? Sudah dulu, terimakasih sudah memberitahu hasilnya. Kuhubungi kau lagi nanti, aku masih ada urusan,” ucap Galias seraya mematikan panggilan tersebut. Ia kemudian menatap langit – langit kamar yang terlihat bergoyang di matanya.

 “Ah!! Aku terlalu mabuk,” ucapnya pelan.