This story was made for someone, so hope it will be a good story. I really appreciate any comment and critics, happy reading
Langkahnya terhenti sesaat, disusul deru nafas yang memburu akibat kelelahan. Didongakkan kepalanya kearah langit seraya berusaha mencari tambahan udara demi paru – parunya yang kelelahan. “Aku memang kurang berolahraga,” ucapnya dengan sisa nafas yang seadanya. Kini dia baru menyesali dalam hati mengapa ia memarkir kendaraannya begitu jauh. Lelaki itu kemudian berjalan menuju salah satu rumah yang dibatasi pita kuning-hitam yang mengitari seluruh halaman. “Jadi apa yang bisa kubantu, teman,” ucapnya pada seorang laki – laki disana.
“Galias!! Bukankah aku memintamu
datang lebih dari satu jam yang lalu, lama betul kau,” jawab lelaki itu dengan
nada yang cukup memendam amarah. “Lihat ini, korban bernama Doni. Ia mungkin
terbunuh kemarin malam. Motifnya mungkin uang, lemari korban dijebol dan
berantakan. Beberapa benda mungkin hilang dari sana. Dompet korban pun kosong
melompong. Korban adalah seorang pengusaha kaya. Kau tahu software Mengci? Dia
adalah direktur perusahaan pengembangannya.”
“Tenang Toni, tenang,” jawab Galias
dengan sedikit senyum yang agak ganjil. “Aku terjebak kemacetan diperjalanan.
Yah, kau tahu kan bagaimana kota ini. Kalau hanya perampokan biasa, mengapa kau
minta bantuanku, aku tidak tertarik dengan hal – hal yang sudah jelas seperti
ini. Tidak menantang.”
“Kemacetan
pantatmu!! Nafas mu saja beraroma alkohol, pemabuk!!” balas Toni dengan sinis.
“Kau memang manusia sejuta alasan, selalu saja ada yang kau salahkan untuk
keteledoran – ketelodoran kecilmu. Sudahlah, lihat ini,” ucapnya sembari
menunjuk ke pintu depan rumah tersebut. “Sama halnya dengan pintu belakang dan
semua jendela, tidak ada tanda – tanda dibuka paksa, apakah ini cukup menarik?”
“Masih
kurang menarik,” ucap Galias ketus. “Izinkan aku melihat seluruh tempat
kejadian, juga mayatnya, kau ataupun anak buahmu belum merubah apapun kan?
Sekarang pandu aku, aku benci dengan tatapan asing para anak buahmu.”
Toni
kemudian menemani temannya itu melihat sekitar. Tubuh Doni yang sudah tidak
bernyawa masih tergeletak disana. Ambulans sedang dalam perjalanan sejak
sekitar setengah jam yang lalu, namun tak kunjung sampai. Terdapat tujuh
tusukan pada tubuh Doni. Tiga disekitar dada, satu di leher, dua di perut dan
sebuah tusukan pada sisi luar paha kanan korban. Galias berjongkok dan
memperhatikan. Tipis, terdapat jejak kaki dari darah. Ia memperhatikan jejak
kaki itu dengan matanya yang kemerahan dan bergumam.
“Sepatunya belum kami temukan, namun
senjata pembunuhnya, sebilah pisau combat
sudah kami termukan di tempat sampah depan, bersamaan dengan sebuah jaket lusuh
yang penuh darah. Bawahanku sedang memeriksanya, tapi pada masa ini dimana
banyak film – film mengenai kejahatan pembunuhan, kita tidak bisa berharap
banyak akan adanya sidik jari. Film – film itu, oh tuhan, membuat semua pelaku
kejahatan menggunakan sarung tangan.” ucap Toni seraya menghela nafas.
Galias
kembali tersenyum ganjil dan menatap temannya itu dengan mata yang sayu
kemerahan. “Bukan temanku, bukan. Lihat ini, jejak kaki ini tercipta setelah ia
membunuh korban bukan. Lalu jejak ini mengarah menjauhi korban, namun ada jejak
yang sama mendekati korban. Jejak yang mendekat itu lebih samar, namun dari
sepatu yang sama. Biar kutebak apa yang ada dipikiranmu, ‘pelaku kembali untuk
memastikan korbannya sudah mati’, bukan begitu? Namun tidak temanku, perhatikan
luka pada tubuhnya, dua dari tiga luka tusukan di dada dan satu dari tusukan di
perut sepertinya tidak mengeluarkan banyak darah. Mungkin aku salah, biarlah nanti
tim forensik yang memeriksanya, namun sepertinya pelaku kita ini kembali
setelah korban mati beberapa menit dan menikamnya lagi, tiga kali. Untuk apa?
Aku rasa motifnya bukan uang sobat, dendam, ini pasti berhubungan dengan
dendam, begitulah bisikan pada otak kecilku.”
“Hmm,
lalu, kalau begitu..”
“Berhenti
bergumam!! Sekarang lakukan tugasmu sebagai petugas berwajib. Tersangka!! Kita
butuh tersangka. Kita butuh saksi, penjaga di depan kompleks pasti tahu siapa
saja yang masuk ke wilayah ini bukan. Kemudian kau cari siapa saja yang
mengenal korban, yang datang ke wilayah ini, cepat!! Sebenarnya siapa sih yang
petugas bertanggung jawab, kau atau aku.”
“Aku
tahu, berhenti mendikteku. Apakah ada hal lain yang kau dapatkan, atau kau rasa
aneh?”
“Untuk sementara itu saja dulu, sekarang izinkan aku
pulang, aku punya beberapa hal yang harus dikerjakan. Tolong hubungi aku saat
kau sudah mendapatkan para tersangkanya,” jawab Galias dengan datar. Ia pun
melangkah keluar, menghela nafas membayangkan betapa jauh ia memarkir
kendaraannya. Namun sebelum itu ia membuka aplikasi pencatat pada handphone nya dan menuliskan beberapa
hal. Ia kemudian tersenyum.
Dua
hari kemudian Galias berjalan perlahan menghampiri handphonenya yang berdering di atas tempat tidur. “Jadi kita punya
tiga tersangka?” jawabnya membalas suara disebrang teleponnya. “Cukup cepat
juga kinerja kalian sebagai aparat pemerintahan, aku cukup kagum. Kukira
semuanya sama, sama sama pekerja santai dengan beragam tetek bengeknya, dengan
perut yang membuncit,” ucap Galias disusul tawa ringan.
“Jangan
kau label kami secara menyeluruh
seperti itu, walau memang terdapat yang kenyataannya benar – benar demikian,
namun tidak semuanya seperti itu. Memang sial, hanya aparat yang bertipikal
seperti kau sebut lah yang terangkat media pada masa ini,” jawab Toni dengan
agak kesal. “Lalu bagaimana, apakah kau akan menemuiku sekarang? Hasil test
forensik pun sudah keluar. Tepat seperti yang kau katakan, ada tiga luka yang
dibuat setelah korban menghembuskan nafas terakhirnya. Benar – benar pekerjaan
yang brutal. Apakah kita sedang mencari seorang psychopath disini.”
“Belum
saatnya kawan, kau masih harus melakukan sesuatu,” ucap Galias dengan nada yang
sedikit congkak. “Sebaiknya kau siapkan tiga lembar kertas a4, kemudian kau
minta setiap orang tersangka itu menggambar sebuah pohon, beserta buahnya,
minta mereka untuk menggambar sedetil mungkin. Kau lakukan itu setelah meminta
informasi mengenai mereka, termasuk cari tahu latar belakangnya, dan jangan
lupa kau dokumentasikan semuanya dengan kamera pena ataupun kamera tersembunyi
lainnya. Apakah itu mungkin?”
“Yaa, itu bisa saja kulakukan walau
mungkin akan memakan waktu, tapi untuk apa meminta mereka menggambar dan
mendokumentasikannya?” tanya Toni dengan heran.
“Sudah
lakukan saja!! Kalau kau sudah melakukannya beritahu aku. Percayalah saja pada
temanmu ini. Aku tidak pernah mengecewakanmu bukan, sobat,” ucap Galias yang
kemudian memutuskan sambungan telepon dan menenggak habis whisky dalam gelasnya. “Ini memang terlalu ringan untukku,”
gumamnya, entah terhadap kasus ini atau whisky
yang baru saja dihabiskannya.
Matahari
cukup menyengat pada siang lima hari kemudian. Toni menghubungi Galias sekali
lagi. Mereka berencana akan bertemu di tempat biasa mereka makan siang saat
sedang membicarakan urusan seperti ini. Sudah lewat empat puluh lima menit
sejak waktu yang dijanjikan, namun batang hidung Galias belum juga kelihatan.
Tak lama kemudian Galias datang
dengan membawa sebuah tas laptop. Setelah memesan makanan kepada pramusaji ia
kemudian membuka laptopnya. “Baiklah kau bawa rekaman dokumentasinya kan?”
tanyanya kepada Toni yang sedang mengunyah kentang goreng dengan lahap. “Namun
sebaiknya kau ceritakan dulu padaku mengenai masing masing tersangka.”
“Baiklah, dengarkan baik – baik,
karena aku lelah jika harus mengulangnya,” jawabnya seraya melahap potongan
kentang goreng yang dipegangnya. “Yang pertama adalah kekasihnya, namanya
Reyna. Dia hanyalah seorang manager biasa di suatu perusahaan otomotif. Mereka
sudah menjalin hubungan selama kurang lebih tiga tahun dan berencana akan
menikah tahun depan. Saat kutanyai dia terus menerus menangis, agak dramatisir,
bahkan terdapat banyak bercak air mata pada kertasnya saat kuminta menggambar
pohon. Tidak ada yang mencurigakan darinya kecuali ke-berlebihan-nya. Menurut
pengakuannya ia datang hanya untuk berkunjung sepulang dari makan malam dengan
teman kantornya. Dia adalah tersangka yang datang pertama menurut petugas
keamanan kompleks. Yang datang kedua adalah Tino, teman SMA korban. Perangainya
tinggi besar, ia memiliki bekas luka yang cukup mencolok di pipinya. Ia membuka
sebuah usaha rumah makan kelas menengah di daerah Gajah Mada. Namun setelah kuselidiki
lebih lanjut, nampaknya ia juga seorang ‘preman’ yang cukup kondang di wilayah
Tanah Abang. Ia mengakui terang – terangan, walau terlihat ragu saat akan
mengatakannya, bahwa ia datang untuk meminjam uang kepada teman semasa SMA-nya
itu. Kemudian yang terakhir adalah Adnan. Tampang dan tubuhnya biasa saja,
dengan tinggi rata – rata dan badan yang tidak gemuk ataupun kurus. Ia adalah
teman korban semasa kuliah di fakultas ilmu komputer. Dia juga bekerja pada
perusahaan milik korban, menurut beberapa sumber, keduanya terbilang dekat
semasa kuliah. Menurut pengakuannya ia datang untuk membicarakan urusan kantor,
namun korban tidak keluar saat dia datang dan mengetuk pintunya, tidak juga
mengangkat panggilan teleponnya, jadi ia pergi meninggalkan tempat itu. Sejauh
ini tidak ada yang mencurigakan, ini rekaman dan gambar yang mereka buat,” ucap
Toni mengulurkan sebuah flashdisk dan
tiga lembar kertas bergambar.
Galias mengambil kertas dan flashdisk tersebut, “kita tidak butuh
ini,” ucapnya seraya merobek ketiga kertas tersebut dan memasukkan flashdisk tersebut pada slot di
laptopnya.
“Jadi untuk apa kita meminta mereka
menggambar? Atau kau hanya ingin membuatku repot dengan segala persyaratanmu?
Sial!!” ucap Toni kesal.
“Sudah kubilang, percayakan saja
pada temanmu ini,” ucapnya sombong. “Kau habiskan saja dulu santapanmu itu dan
dengarkan permintaanku berikutnya setelah aku melihat rekaman ini.”
Seperti
seorang bocah yang penurut, Toni melakukan apa yang temannya itu katakan. Ia
mulai memotong bongkahan daging panggang yang ada di hadapannya dengan pisau
dan garpu yang sudah disediakan dan menyantapnya dengan lahap.
“Kau
tangkap saja Adnan ini,” ucapnya santai setelah melihat ketiga rekaman. “Kau
bisa menggeledah rumahnya dan menemukan sepatu dengan bercak darah tersebut.
Atau jika sudah dibersihkan, reaksinya akan tetap ada bukan, teknologi sekarang
sudah maju. Kurasa ia tidak akan membuangnya karena jejak itu cocok dengan
jenis sepatu yang terbilang cukup mahal. Aku sudah mencarinya di internet. Cukup
kau katakan bahwa kau memiliki bukti kuat bahwa dia pelakunya dan apabila ia
tidak bersikap koperatif maka hukumannya akan diperberat nantinya karena dia
sudah dipastikan bersalah. Mungkin dia akan berkata bahwa alasannya adalah
dendam karena software yang ia buat bersama – sama dengan Doni, hanya
memperkaya temannya itu. Dia merasa korban mengambil haknya. Kau bisa
menghubungiku lagi jika sudah menyelesaikannya, sudah kubilang kan, ini terlalu
mudah.,” ucap Galias yang kemudian berdiri, menyeruput habis minumannya, dan
berjalan ke arah pintu keluar.
“Hei tunggu dulu!! Apa – apaan
itu!!” sentak Toni terkaget.
“Harus ku ulang lagi? Percaya saja
pada temanmu ini,” jawabnya diikuti tawa kecil, “Bye bye... Hubungi aku setelah
kau menyelesaikan kasusmu.”
“Manusia
sialan!!” umpat Toni menatapi temannya yang sudah berada di luar ruangan dan
berjalan menuju ke arah tempat parkir.
“Kau
ini apa? Peramal? Cenayang? Atau ahli sihir?” tanya Toni kepada temanya itu di
line telepon. “Dia benar – benar memberikan alasan yang sama dengan apa yang
kau katakan, beritahu aku darimana kau mencurigainya. Yang tampak mencurigakan
bagiku justru Tito, seorang preman tanah abang. Lagipula ia yang terakhir kali
melihat korban masih hidup.”
“Harus ku ulangi berapa ratus kali
agar kau mendengar, percayalah saja pada temanmu ini,” jawab Galias dengan nada
bangga. “Kali ini kau, sobat, yang memandang orang dari labelnya, mencurigai
seorang preman. Memang itu wajar, namun kali ini kau salah. Dan sudah kubilang
motifnya bukanlah uang. Kau ingat luka di paha kanan korban? Tusukan itu berada
di sisi luar. Melihat posisi luka korban yang lain, pastilah ia diserang dari
depan. Jadi kuasumsikan bahwa pelaku adalah orang yang kidal. Sekarang kau
mengerti bukan, mengapa aku menyuruhmu untuk meminta ketiga orang itu
menggambar selagi kau dokumentasikan. Benar, karena orang kidal dapat berlatih
menulis dengan tangan kanan, namun menggambar dengan tangan kanan cukup sulit,
kecuali kau memang seorang pelukis atau apalah, belum lagi kau meminta gambar
yang cukup detil. Karena itulah kita tidak butuh gambar tersebut, rekaman
itulah kuncinya. Lalu mengenai alasannya. Haha!! Itu aku hanya menebak saja,
terlalu banyak menonton film – film mungkin. Keberuntungan terbesar adalah
diantara ketiga orang tersangka itu, hanya Adnan yang kidal. Tepat sudah panah
cintaku padanya.”
“Dasar bajingan yang beruntung,
bajingan cerdas yang beruntung.”
“Terserah apa katamu, lagi – lagi
aku tak mengecewakanmu bukan? Sudah dulu, terimakasih sudah memberitahu
hasilnya. Kuhubungi kau lagi nanti, aku masih ada urusan,” ucap Galias seraya
mematikan panggilan tersebut. Ia kemudian menatap langit – langit kamar yang
terlihat bergoyang di matanya.
“Ah!! Aku terlalu mabuk,” ucapnya pelan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar